Monday 18 December 2017

Mata Budi terus berkedip. Jam di atas pintu kamar dipandanginya dengan seksama. Pukul 03.30 pagi, 10 November 2017. Dua dasa warsa telah resmi dijalaninya sebagai penduduk Bumi. Hati yang senang karena rasa syukur diiringi sedikit kecemasan mengenai hidupnya yang tidak sempurna. Sholat subuh ditunaikan dengan rasa kantuk yang melekat seperti cicak di permukaan tembok. Hati dan pikirannya sedang gundah. Perasaan yang tidak pernah dialami oleh Budi sebelumnya tiba-tiba menyeruak dan menyerang kehidupannya yang bagi banyak orang terlihat tenang dan bahagia.

Ina, perempuan yang membuat Budi tidak sanggup memahami perasaannya sendiri. Dua tahun berlalu sejak mereka bertemu pertama kali di kursus Bahasa Inggris tempat Budi menimba ilmu selama 7 tahun terakhir. Budi memang siswa terlama di tempat itu. Kecintaannya pada Bahasa Inggris tidak menghalangi Budi untuk terus belajar walaupun para pembimbingnya sudah berganti puluhan kali dan teman sejawatnya di tempat kursus itu sudah banyak berubah. Krisis ekonomi yang melanda negaranya dan memengaruhi usaha milik orang tuanya hingga Budi sering menunggak uang les tidak membuatnya patah arang. Apapun rela dilakoninya untuk tetap belajar di lembaga kursus yang setiap dua kali seminggu dia datangi dengan mengayuh sepeda sejauh 4 kilometer.

Budi yakin, Ina bukan perempuan biasa. Pembawaannya yang kalem dan tak banyak bicara menyiratkan kesan misterius yang membuat Budi penasaran. Kesabarannya dalam membimbing setiap murid termasuk Budi sebagai siswa tertua di antara siswa-siswanya yang lain mengundang ketertarikan untuk mengenal perempuan berkerudung itu lebih dalam. Ina memang sosok perempuan yang berbeda dengan kaum hawa lainnya. Budi ingat betul, pertama kali ia melihat pribadi Ina sebagai wanita yang unik dan brilian adalah saat Ina mengajaknya berbicara tentang pembajakan musik. Tema pembicaraan yang sangat aneh untuk dibicarakan. Selama hidupnya, hanya sang ayah yang pernah bicara kepadanya dengan serius tentang hal itu.

 Ina adalah sosok pendiam yang sangat jarang bersuara jika memang tidak benar-benar penting. Obrolan tentang pembajakan musik itu berlangsung singkat, namun sangat berarti bagi Budi karena dari percakapan itulah, Budi merasa jika ia dapat memahami bagaimana karakter Ina yang sesungguhnya. Pasca peristiwa itu, mulai muncul perasaan suka walaupun rasa itu dapat ditolak oleh Budi karena ia yakin itu hanya godaan semata. Bagi kebanyakan orang, Ina mungkin sosok yang cukup tertutup dan aneh. Namun, keanehan itulah yang membuat Budi tertarik. Baginya, segala sifat itu memiliki makna yang sangat positif karena Budi sendiri kadang merasa aneh dengan apa yang ada di hati dan pikirannya.


Perayaan hari kelahirannya segera dimulai. Hidangan sudah tersedia lengkap di atas koran yang melapisi karpet abu-abu tipis. Kawan dekatnya telah hadir membawa setumpuk harapan untuk makan enak malam itu. Empat orang undangan dan satu tuan rumah berbincang dengan hangat. Budi memanfaatkan malam itu untuk menanyakan satu kalimat sederhana yang sedang mengganggu pikirannya satu minggu terakhir. Sebagai tuan rumah yang baik, Budi bertanya dengan sangat hati-hati namun tetap lugas. “Pernah nggak, ada perempuan yang tanya kalau kamu ngerokok atau nggak?” Budi bertanya dengan ekspresi gembira yang selalu menghiasi raut wajahnya walau kebingungan sedang melanda. Jawaban dari kawan-kawannya bervariasi. Satu kesimpulan yang dapat ditarik Budi malam itu, pertanyaan yang dilontarkan Ina satu minggu sebelumnya bukan pertanyaan basa-basi seperti kebanyakan perempuan yang ingin terlihat ramah. Mungkin Ina ingin mengenal Budi lebih dalam. Entah apa tujuannya. Budi masih sibuk memikirkan kesempatan hidup yang semakin singkat setelah hari jadinya yang ke-20.

Setelah pertanyaan itu, Ina terasa semakin dekat. Bahasa tubuhnya seolah memberi maksud terselubung yang tak dapat Budi pahami. Posisi duduk Ina berubah. Tubuhnya mendekat dan Kakinya selalu menghadap ke arah Budi walaupun mereka tidak berinteraksi dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ketika Budi bertanya tentang apa yang sedang sibuk ditertawakan oleh Ina di layar ponselnya, Ina menunjukkan meme lucu yang memang sangat menggelitik. Pada momen itulah, Budi menyadari ada sesuatu yang aneh karena Ina tak pernah melakukan itu sebelumnya kepada siapapun murid yang ia bimbing. Pribadinya sangat tertutup jika sudah menyangkut kesibukannya dengan ponsel pintar, terutama kepada para siswanya.  Budi semakin penasaran dengan apa yang terjadi dalam diri Ina.

Sepekan berikutnya, Budi tidak sengaja bertanya tentang latar belakang pendidikan Ina hingga bagaimana ia bisa mengabdi pada tempat kursus di pinggiran kota. Ina menceritakan pengalamannya dengan antusias. Budi tak pernah melihat Ina berbicara dengan semangat setinggi itu karena Ina lebih banyak diam saat bertemu orang lain. Ina menceritakan bagaimana dia terjun dalam dunia pendidikan, bidang yang sesungguhnya tidak pernah ia minati. Ina menjelaskan sekelumit mimpi masa kecilnya dan bagaimana perasaannya ketika sebagian besar mimpi itu tak terwujud. Ina memberikan sedikit opininya tentang bagaimana perempuan harus bersikap ketika tanggung jawab utamanya adalah membesarkan buah hati. Budi bersimpati pada Ina, Budi pada awalnya menganggap Ina sebagai sosok pesimistis walau Ina merasa pesimisme itu adalah adalah bentuk perasaan realistis yang selalu ia yakini.

Tak terasa, 30 menit berselang. Temaram lampu kelas telah lenyap dan hampir seluruh insan di tempat itu beranjak pulang. Ina berterima kasih pada Budi karena waktu yang diluangkannya untuk sekedar mendengarkan sebagian kecil kisah hidupnya. Budi menolak ucapan itu. Budi merasa jika mendengarkan pendapat dan keluh kesah orang lain adalah kewajiban yang harus diembannya hingga akhir hayat karena hanya dengan cara itu Budi bisa membantu orang lain. Baginya, merasa didengarkan adalah jalan terbaik menuju kebahagiaan.

Pertemuan selanjutnya, Ina balik bertanya mengenai kehidupan Budi. Bukan pertanyaan serius, memang. Ina hanya bertanya tentang bagaimana di usia Budi sekarang, dia tidak segera duduk di bangku perguruan tinggi. Budi jauh lebih banyak menjelaskan tentang dirinya dan Ina sabar mendengarkan ocehan Budi yang sangat susah untuk diam. Jawaban Budi lebih panjang dari pertanyaan yang dilontarkan Ina, namun ketika Ina mengutarakan pendapatnya, Budi merasa takjub. Ada sesuatu dalam pribadi Ina yang membuat Budi terkesan. Budi sendiri tak tahu apa yang membuat dirinya merasa tertarik. Tak terasa sudah hampir satu jam berlalu. Berbicara dengan Ina memang membuat Budi lupa akan kehidupan di sekitarnya. Ketika kursus hari itu usai, Budi semakin mempertanyakan apa yang sedang terjadi dalam hatinya.

Budi tidak pernah segundah ini. Sebelum kecemasan ini hinggap, hidupnya cukup bahagia walau tidak bisa dibilang sempurna. Perasaan ini tidak pernah dia alami sepanjang 20 tahun perjalanannya sebagai manusia. Budi merasa sangat peduli dengan apa yang Ina alami dan rasakan. Tak hanya itu, Budi memikirkan masa depan yang diyakininya akan sangat cerah jika ia lalui bersama Ina. Suka. Budi merasa suka dengan Ina. Budi tahu, perasaan itu sangat jauh dari kata wajar. Ina adalah pembimbingya, guru sekaligus pendamping dalam proses belajar. Tidak seharusnya Budi merasa suka dengan seorang guru yang 7 tahun lebih tua darinya. Mungkinkah ini hanya godaan? Budi bertanya dan merenungkan suasana hatinya. Budi yakin ini bukan godaan karena secara fisik, Ina jauh dari gadis impian Budi selama ini. Budi juga tidak pernah merasakan hal yang sama pada perempuan lain yang datang dan pergi di kehidupannya. Ketika ia menyukai seseorang, semakin dalam dirinya mengenal perempuan itu, perasaannya menipis dan lambat laun menguap begitu saja. Lain halnya dengan perasaannya terhadap Ina. Saat Budi mengenal kepribadian Ina lebih dalam, dirinya semakin menyukai Ina. Budi mengerti jika ia tidak bisa mengenal Ina seutuhnya karena karakter Ina mirip dengan Bumi yang memiliki berbagai lapisan dan hanya Tuhan dan Ina sendiri yang mampu memahami lapisan terdalam hatinya.

Cara Ina berpikir, memandang dunia dan bersikap kepada lingkungan sekitarnya membuat Budi terjatuh semakin dalam pada kubangan rasa suka. Alasan itulah yang membuatnya yakin jika hidup bersama Ina akan membuat dirinya menjadi pribadi yang selalu berkembang dan lebih baik dari waktu ke waktu. Budi cemas. Tak seharusnya rasa itu tertancap. Namun, semakin kuat penolakan dalam dirinya, rasa itu ikut menguat. Hatinya berontak. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Budi yakin Ina tak mungkin menyimpan perasaan serupa karena Ina jauh lebih tua, lebih kaya pengalaman dan bersikap lebih dewasa. Budi tidak mungkin menceritakan isi hatinya itu kepada siapapun. Orang tuanya akan memberi solusi yang akan menambah kegelisahannya dan kawan terdekatnya akan menganggap dia sebagai sosok aneh dan berperilaku tidak wajar. Budi terpaksa memendam perasaan itu hingga hati dan pikirannya tidak sanggup membendung semuanya.


Pukul 02.00. Budi masih terjaga akibat perasaan itu. Dua pekan terakhir dilaluinya dengan waktu tidur yang berkurang drastis akibat gangguan pada pikiran dan hatinya. Budi terisak. Tangis itu adalah air mata pertamanya dalam dua tahun terakhir. Budi benar-benar tidak tahu bagaimana cara menanggapi perasaan yang menggerogoti jiwanya yang ceria. Rasa suka itu tak bisa ia tolak namun tak sanggup pula Budi menerimanya. Sangat banyak air mata mengalir ke permukaan bantal merah kesayangannya. Kala matanya terpejam, tangis kembali mendesak kedua matanya untuk terbuka hingga ia lelah dan terlelap akibat terlalu lama menangis. 

Segala cara dilakukan Budi demi jalan keluar terbaik bagi perasaan yang terus-menerus menyiksa dirinya. Sudah tiga hari terakhir ia menghabiskan waktunya di tengah malam hanya untuk melampiaskan rasa itu dengan tangis. Sholat istikharah rampung sudah ia tunaikan. Rasa itu tetap terpatri dalam hatinya. Sirna sudah harapan agar perasaan itu lenyap setelah dia memohon dengan sangat kepada Sang Pencipta. Budi berpikir, mungkin Tuhan punya rencana lain yang tidak bisa dipahaminya. Budi bahkan meriset perasaannya di Google. Membaca berbagai artikel dan forum daring yang membahas kepribadian hingga mengunduh buku digital tentang psikologi. Semua pencarian yang dilakukannya mengerucut pada satu titik yang membuat Budi semakin susah menolak isi hatinya. Ina memang benar-benar berbeda dengan manusia kebanyakan. Salah satu survei yang dibaca Budi menegaskan jika manusia dengan kepribadian seperti Ina hanya ada satu persen di seluruh dunia. Budi melihat Ina sebagai perempuan yang otentik. Ina memiliki keunikan yang tak akan ditemui Budi pada diri orang lain. Secuil informasi itu memperdalam rasa sukanya. Budi semakin tertekan setelah mengetahui itu semua. Air matanya mengucur lebih deras, dadanya sesak dan pencernaannya terganggu. Siksaan batin itu kini menyerang kesehatan jasmaninya.

Sudah, cukup. Budi tak tahan dengan tekanan batin akibat perasaan tak wajar itu. Budi terpaksa mengambil jalan terakhir yang dipilihnya karena pikiran dan hatinya sampai pada titik yang tak mampu ia bendung. Budi harus terbuka pada Ina mengenai perasaannya yang begitu dalam. Budi memikirkan bagaimana cara agar Ina tetap merasa nyaman walaupun apa yang akan diungkapkannya itu jauh dari kata normal dan berpotensi membuat Ina terganggu. Budi berpikir keras demi menata kata-kata yang tepat untuk menjelaskan isi hatinya kepada Ina. Pertemuan berikutnya sudah ia rencanakan untuk jadi salah satu momen paling melegakan sekaligus menegangkan dalam hidupnya. Namun, ketika seluruh rencana itu selesai, Budi ciut nyali. Sesuatu dalam dirinya menarik kembali apa yang sudah dipikirkannya jauh-jauh hari. Budi gagal. Entah sampai kapan ia harus menunggu sebelum batinnya semakin kacau dan kondisi fisik yang ikut memburuk.

“Aku sedang menyukai perempuan yang lebih tua dariku. Aku tahu ini salah, tak seharusnya perasaan ini muncul, aku juga tak berharap bisa memiliki perasaan seperti ini, namun sangat susah bagiku untuk menolaknya.” Budi mengungkapkan semua itu dengan intonasi sedatar mungkin, tetap saja suaranya berkali-kali tercekat akibat hatinya yang terlalu gundah. “Suka? Kamu yakin itu rasa suka? Bisa jadi itu hanya godaan?” “Tidak, aku tahu godaan itu seperti apa. Aku laki-laki, aku pasti tergoda sepanjang waktu. Secara fisik, aku sama sekali tidak menyukai perempuan ini.” “Apa yang membuatmu suka dengan perempuan itu?” “Kepribadiannya, cara dia berpikir.” “ Kamu bertemu dia setiap hari?” “ Tidak, hanya dua kali seminggu.” Percakapan itu terhenti beberapa menit. Budi menunduk. Ina menengadahkan kepalanya. “Apa yang harus aku lakukan?” “Entahlah. Kau harus menimbang mana jalan terbaik yang akan kau pilih. Aku tahu kamu orang yang bijaksana. Pulanglah. Istirahat dan berdoalah.” Budi terdiam. Matanya sembab. Wajah muramnya tertutupi oleh jaket hitam yang ia lingkarkan ke sekeliling kepalanya. Budi sengaja tidak berbicara dengan gamblang agar dialognya tidak terkesan canggung dan Ina tetap bisa merasa nyaman. Meski begitu, Budi menyelipkan pesan tersirat dalam kata-katanya agar Ina memiliki kesempatan untuk memikirkan setiap ucapan Budi. Budi tahu, Ina adalah seorang pemikir. Ina akan terus memikirkan apa yang ia dengar dan berusaha menganalisanya dengan sangat dalam.

Hari itu, empat hari setelah Budi terpaksa mengungkapkan perasaannya, Ina bersikap dingin. Ina memang tak jarang menampilkan kesan dingin pada sosoknya. Namun, dingin saat itu termasuk sesuatu yang tak biasa. Ina berperilaku sedingin lemari es khusus ikan segar di pusat perbelanjaan. Sangat dingin dan terasa amis bagi Budi. Ia tahu, ada yang salah dengan ucapannya. Budi masih berusaha menerka semua yang dikatakan olehnya empat hari yang lalu. Budi belum bisa menyimpulkan apapun karena sikap Ina belum mencapai titik terang dan Budi baru bertemu dengannya selama beberapa menit pasca peristiwa itu. Satu hal yang diyakininya, Ina pasti telah memikirkan semua ungkapan isi hati Budi dengan sangat dalam. Apapun yang Ina lakukan, semua itu pasti sudah ia pertimbangkan.

Tidak nyaman. Hanya itu kata yang tepat menggambarkan sikap Ina pada Budi. Budi merasa jika Ina sangat tidak nyaman dengan apa yang terpaksa diucapkannya beberapa hari yang lalu. Budi sudah memikirkan konsekuensi itu, namun ketika itu terjadi, Budi merasa sangat bersalah pada Ina. Tak sanggup jiwanya memikul beban dari rasa bersalah itu. Ina sudah terlalu baik pada Budi. Kebaikan itu malah dibalasnya dengan perasaan tak nyaman bagi diri Ina. Budi benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Isak tangis di tengah malam kembali menjadi pelampiasan hatinya. Budi malu kepada dirinya sendiri. Budi yakin ia telah menginvasi ranah pribadi Ina, mengganggunya dan membuatnya tak nyaman. Budi merasa jika mengungkapkan perasaannya pada Ina adalah dosa terbesar dalam hidupnya. Tak seharusnya itu terjadi jika pada akhirnya Ina terganggu dan tidak nyaman dengan apa yang Budi lakukan. Baginya, memanggul perasaan bersalah jauh lebih buruk daripada menyimpan rasa suka yang terlalu dalam.

“Mulai besok, kamu belajarnya sama Kak Rita, ya.” Ucapan Ina itu membuat Budi tertunduk. Budi yakin, itu adalah tanda ketidaknyamanan yang sudah memuncak dalam diri Ina. Rita, rekan kerja Ina, memperparah gejolak perasaan Budi dengan memberinya alasan yang terlampau lemah. Budi tahu, alasan mengenai pemindahan murid yang dikemukakan Rita hanyalah kedok untuk menutupi satu alasan yang lebih besar. Budi semakin merasa berdosa. Rasa tidak nyaman itu sudah terlalu membebani Ina. Budi harus bertanggung jawab dan permohonan maaf kepada Ina mungkin jadi satu-satunya jalan karena Budi tak bisa memikirkan cara selain itu. Rencana untuk meminta maaf sudah dipikirkannya dengan sedetail mungkin. Saat Budi sudah mendapat kesempatan emas untuk menjalankan rencana itu, hatinya berontak. Rasa bersalah itu sudah terlalu kuat hingga ia tak sanggup memaafkan dirinya sendiri. Budi merasa malu dengan apa yang telah ia perbuat. Budi kini merasa tidak pantas dimaafkan oleh Ina. Kesalahannya sudah terlalu berat dan kata maaf tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan itu. Budi hanya bisa memandangi Ina dari jauh ketika segala rencana untuk memohon maaf gagal terlaksana.


Budi merasa seperti pecundang. Mengucap kata maaf pun tak mampu dilakukannya. Rasa bersalah itu telah merenggut jiwanya. Budi menganggap dirinya adalah suatu kekecewaan bagi dunia. Budi bahkan tak percaya dengan masa depannya sendiri. Perasaan berdosa itu membuat Budi memandang masa depan dengan kegelapan dan kepedihan. Entah apa yang harus dia perbuat untuk menghilangkan rasa tidak nyaman pada diri Ina. Dua minggu berselang, langkah kaki Budi semakin berat, kayuhan sepedanya melambat dan hatinya masih tak tenang. Hari kursus pertama setelah libur tahun baru itu dijalaninya dengan kekhawatiran setelah melihat meja yang biasa digunakan Ina kini kosong tak bertuan. “Kak Ina kemana, Kak?” “Kak Ina sudah nggak kerja di sini lagi.” Jawaban Rita itu sangat menyesakkan bagi Budi. Kesalahannya yang tak termaafkan itu akan menghantuinya seumur hidup. Budi menatap jendela kelas. Hujan tak kunjung reda. Siksaan batin akibat perbuatannya menghujani perasaan Budi. Budi tak tahu kapan cobaan bagi hatinya itu berhenti.

 Malang, Desember 2017














1 comments: