Saturday 5 January 2019


Menjelang Pemilihan Presiden 2019, semua kegiatan, kapanpun waktunya dan apapun tujuannya, selalu dihubungkan dengan dunia politik. Namun, sayangnya, persaingan politik satu tahun terakhir menjadi ajang yang kurang sehat, serangan yang menjurus pada kepercayaan dan keyakinan individu serta argumen-argumen lemah yang dilontarkan tanpa bukti menjadi tanda akan dunia politik yang kurang cerdas dan berkualitas.

Kedua pasangan calon seolah disibukkan dengan peryataan masing-masing yang mengundang kontroversi. Tampang Boyolali, Genderuwo hingga Sontoloyo menjadi kata-kata yang didengar masyarakat sehari-hari. Calon pemilih cukup jarang mendengar pemaparan program kerja dari para kandidat capres dan cawapres. Ketika berkampanye di lapangan melalui kunjungan ke pasar, pondok pesantren dan seremoni peresmian berbagai macam komunitas hampir selalu dihiasi pernyataan yang berfokus pada kalimat-kalimat yang sifatnya ofensif bagi kubu yang berlawanan. Visi, misi dan program masing-masing calon tampak seperti hiasan atau sekedar tempelan agar kampanye mereka terlihat serius. Penjelasan yang detail mengenai program, diskusi yang sehat dan penjababaran visi hampir tidak terdengar selama hampir 4 bulan masa kampanye. Lantas, bagaimana seharusnya kandidat nomor 01 dan 02 berkampanye?

Kampanye menurut KBBI adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara. Berdasarkan UU no. 32 tahun 2004, kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan misi, visi dan program calon. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan gaya berkampanye dari masing-masing calon sangat tidak sesuai dengan makna bahasa atau ketentuan hukum yang berlaku. Kedua pasangan calon kini tidak terlihat berusaha mendapat dukungan dari pemilih, mereka malah sibuk mempengaruhi pemilih agar membenci pihak lawan. Memang, tak semua kegiatan tersebut mengandung ujaran-ujaran yang menyindir atau berpotensi menyebabkan kebencian. Namun, hampir setiap hari muncul kalimat-kalimat yang keluar dari mulut tim sukses atau sang calon bernada menyudutkan atau menyerang pihak lain. Sebagian besar dari serangan tersebut tidak substansial, seperti tantangan membaca Al-Qur’an atau menjadi imam sholat.

Masing-masing pasangan calon seyogianya berkampanye dengan menunjukkan program yang diunggulkan. Serangan atau kritik yang sifatnya pribadi dan tidak termasuk dalam program wajib dihindari atau bahkan dihapuskan dari kebiasaan para kandidat dan tim pemenangan mereka. Adu program tersebut juga salah satu sarana untuk mengedukasi masyarakat mengenai kampanye sehat. Jika rakyat sudah terbiasa mendengar dan melihat calon presiden dan wakil presidennya memaparkan program yang diusung tanpa embel-embel hujatan, secara tidak langsung seluruh lapisan masyarakat tidak akan saling hina dan bertikai satu sama lain, siapapun yang menjadi pilihan masing-masing individu pada 17 April mendatang.


Polarisasai yang terjadi kini dapat mengancam budaya masyarakat Indonesia yang luhur, penuh kebersamaan dan toleransi. Perpecahan akibat pandangan politik mencuat pada tahun 2014, ketika calon presiden yang ada di kertas suara sama seperti pemilihan presiden 2019. Selepas Pemilu 2014 dan presiden terpilih resmi dilantik, polarisasi justru kian tajam hingga menimbulkan istilah baru yang berbau kefaunaan seperti cebong dan kampret. Menurut Simon Sinek, seorang pakar kepemimpinan dalam buku best seller karyanya berjudul Leaders Eat Last, instansi, lembaga atau perusahaan yang dipimpin oleh pemimpin yang baik akan menularkan budaya yang baik pula pada lingkungan yang dia pimpin. Begitu juga sebaliknya. Pemimpin buruk akan menghasilkan budaya yang buruk, walaupun pada tempat yang dipimpinnya itu sudah mengakar kebiasaan-kebiasaan yang baik. Indonesia pada Pemilu 2004 dan 2009 masih dipenuhi suka cita dengan berbagai kampanye yang mengandalkan program kerja masing-masing pasangan calon. Siapapun pilihannya, seusai Pemilu seluruh masyarakat hidup berdampingan, tanpa ada sentimen politik panas yang disertai ungkapan-ungkapan bernada kasar dan menghujat.

Pasca Pemilu 2014, publik hampir setiap hari terpapar komentar dan pendapat negatif dari dua kubu yang seolah tak bisa bersatu bagai Kris Hatta dan Billy Syahputra. Masalah tersebut menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah pada cara memimpin orang-orang yang kini menduduki jabatan penting di NKRI. Ciri-ciri lainnya adalah pemimpin yang haus pujian dan dukungan, bahkan meminta agar ada demo mendukung di depan tempat kerjanya. Seorang pemimpin adalah penanggung jawab. Tanggung jawab sebesar apapun tidak membutuhkan pujian dan dukungan orang lain, karena tanggung jawab adalah kewajiban yang harus diemban.

Saran saya kepada siapapun yang terlibat pada Pemilu 2019, Anda-anda semua harus memperbanyak pertemuan informal. Iya, pertemuan tidak formal. Jika tim sukses dari kedua kubu hanya bertemu saat ada undangan di acara TV atau rapat-rapat yang sifatnya resmi, sangat sedikit waktu yang ada untuk mengenal satu sama lain secara pribadi. Jika saja Ali Ngabalin dan Ferdinand Hutahean lebih sering jalan-jalan bersama keliling Monas atau menyesap kopi berdua di kedai-kedai kopi Nusantara yang kini menjamur, mungkin argumen dan pendapat yang dilontarkan keduanya akan lebih santun dan tidak terkesan ofensif. Alangkah indahnya jika Fadli Zon dan Budiman Sudjatmiko sering bercengkrama di luar jam kerja, bersama-sama membuat cover video musisi ternama atau sekedar duduk sembari mengobrol dan minum Thai tea di depan Indomerat. Pada kegiatan-kegiatan tersebut, kedua kubu akan melihat kubu lain yang berbeda pandangan politiknya sebagai sesama manusia. Bukan sebagai cebong dan kampret.

Sederhana, memang. Namun, dari aktifitas yang sederhana itu akan muncul empati terhadap satu sama lain. Cara tersebut juga sudah terbukti di negara lain. Politisi Amerika Serikat di era Nixon sering menghabiskan waktu bersama. Apapun partai atau ideologinya,  mereka tetap makan siang bersama atau berbincang-bincang di luar jam kerja. Namun, setelah era tersebut, kebiasaan itu memudar hingga mencapai puncak polarisasi ketika Donald Trump terpilih sebagai presiden.

Semoga perpecahan dan kebencian terhadap satu sama lain bisa segera hilang, demi suasana politik yang sehat.


0 comments:

Post a Comment