Thursday 24 September 2020

 Sudah 54 tahun KAHMI berdiri dan ikut serta mengembangkan berbagai aspek kehidupan di Indonesia, khususnya pada bidang sosial dan kegamaan. Anies Baswedan, Hamdan Zoelva, Muhadjir Effendy, hingga Jusuf Kalla adalah sebagian kecil dari Alumni HMI yang memiliki nama besar dan pernah menduduki jabatan penting di pemerintahan.

Namun, nama besar dan jumlah alumni yang sudah tak terhitung jumlahnya tidak menghindarkan HMI dari masalah keorganisasian. Memang, setiap era memiliki tantangannya sendiri. Karakter mahasiswa sekarang dengan karakter mahasiswa pada masa Anies Baswedan muda mungkin berbeda. Oleh karena itu, masalah yang ditemui juga sukar dibandingkan.

Jika digolongkan, ada dua masalah besar yang hinggap di tubuh sebagian besar organisasi kemahasiswaan luar kampus di Indonesia. Dua masalah yang juga sangat membebani HMI sebagai organisasi kemahasiswaan Islam tertua di Indonesia. Masalah pertama adalah kaderisasi yang kurang berjalan, masalah kedua adalah stigma bahwa organisasi eksternal adalah organisasi yang hanya mementingkan kedudukan politis.

Kedua masalah di atas memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Masalah pertama lahir dari suatu kebiasaan mahasiswa di era milenial yang semakin jauh dari nilai-nilai tridharma perguruan tinggi. Tridharma yang mencakup pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat kini seolah memudar bersama dengan kebiasaan mahasiswa yang kurang siap menghadap era digital.

Banyak dari mahasiswa yang kini mengenyam pendidikan tinggi merasa bahwa pendidikan cukup dilaksanakan di ruang-ruang kelas atau di kegiatan perkuliahan formal. Begitu pula dengan keengganan mahasiswa untuk melakukan penelitian karena anggapan bahwa penelitian membutuhkan seabrek referensi yang memusingkan. Kondisi itu bermuara pada niat untuk mengabdi pada masyarakat yang terlampau rendah.





 Pola pikir mahasiswa yang terlalu sempit seperti itu yang membuat organisasi mahasiswa eksternal seperti HMI semakin berat dalam melakukan regenerasi kader. Beban yang dipikul pengurus HMI untuk melakukan kaderisasi menjadi lebih berat jika dibandingkan dengan situasi di era Muhadjir Effendy atau Ridwan Saidi.

Awal mula pola pikir mahasiswa yang berubah drastis itu terjadi karena pergeseran budaya yang terlampau cepat. Jika alumni-alumni HMI seperti Jusuf Kalla dan Anies Baswedan hidup di era sekarang, hampir tidak mungkin keduanya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain TikTok dan mobile games, melihat pergunjingan masyarakat pada akun-akun ghibah di Instagram atau menonton kehidupan sosialita di YouTube. Berdiskusi, membaca dan mencari pengetahuan lewat berbagai sumber menjadi salah satu kegiatan utama bagi kader-kader HMI yang kini menjadi alumni dengan segudang prestasi.

Pokok permasalahan itu pula yang kini menjadi tantangan berat di HMI. Jika berkunjung ke seluruh komisariat di Indonesia, sangat mudah menemui pemandangan para pengurus dan kader yang sibuk dengan gawainya sembari memelototi keriuhan di dunia maya yang sifatnya kurang bermanfaat. Budaya keorganisasian dan keilmuan di HMI seolah luntur karena aktifitas-aktifitas tersebut.

Kebiasaan di atas memunculkan masalah kedua: kader HMI yang hanya fokus pada kedudukan di organisasi pemerintahan mahasiswa dan tidak mampu mengimplementasikan tujuan HMI di posisi-posisi tersebut. Jamak kita temui, kader organisasi ekternal yang terpilih menjadi presiden mahasiswa atau ketua organisasi legislatif mahasiswa yang melakukan praktek kolusi dan nepotisme dengan memilih pengurus kabinet dari organisasinya saja dengan dalih “berterima kasih” atas terpilihnya individu tersebut ke kursi kekuasaan. Praktek seperti itu memang tidak sepenuhnya salah. Manusia cenderung memilih orang yang dikenal atau dekat dengan dirinya demi kenyamanan dalam bekerja. Namun, ketika pilihan tersebut tidak diimbangi dengan ilmu pengetahuan yang mumpuni, muncullah kolusi dan nepotisme yang membuat banyak mahasiswa enggan untuk bergabung dengan organisasi eksternal.

Berkaca dari pengalaman alumni HMI, bekerja sama dengan orang-orang dari latar belakang organisasi yang berbeda menjadi suatu keharusan dan memang tak dapat dihindari. Seperti Anies Baswedan ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang harus bekerja sama dengan Khofifah Indar Parawansa, seorang alumni PMII yang ketika itu duduk di kursi Menteri Sosial. Muhadjir Effendy sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan juga harus selalu berkoordinasi dengan Pramono Anung, Sekretaris Kabinet alumni GMNI.

Masih banyak contoh-contoh lain dari alumni HMI yang bisa diteladani. Jika seluruh kader HMI benar-benar mau menjadi insan akademis pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Alloh SWT, jalan literasi dan toleransi terhadap organisasi kemahasiswaan lainnya wajib menjadi tonggak utama pengembangan organisasi.

Next
This is the most recent post.
Older Post

0 comments:

Post a Comment