Sudah 54 tahun KAHMI berdiri dan ikut serta mengembangkan berbagai aspek kehidupan di Indonesia, khususnya pada bidang sosial dan kegamaan. Anies Baswedan, Hamdan Zoelva, Muhadjir Effendy, hingga Jusuf Kalla adalah sebagian kecil dari Alumni HMI yang memiliki nama besar dan pernah menduduki jabatan penting di pemerintahan.
Namun, nama besar dan
jumlah alumni yang sudah tak terhitung jumlahnya tidak menghindarkan HMI dari
masalah keorganisasian. Memang, setiap era memiliki tantangannya sendiri.
Karakter mahasiswa sekarang dengan karakter mahasiswa pada masa Anies Baswedan
muda mungkin berbeda. Oleh karena itu, masalah yang ditemui juga sukar
dibandingkan.
Jika digolongkan, ada
dua masalah besar yang hinggap di tubuh sebagian besar organisasi kemahasiswaan
luar kampus di Indonesia. Dua masalah yang juga sangat membebani HMI sebagai
organisasi kemahasiswaan Islam tertua di Indonesia. Masalah pertama adalah
kaderisasi yang kurang berjalan, masalah kedua adalah stigma bahwa organisasi
eksternal adalah organisasi yang hanya mementingkan kedudukan politis.
Kedua masalah di atas
memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Masalah pertama lahir dari suatu
kebiasaan mahasiswa di era milenial yang semakin jauh dari nilai-nilai
tridharma perguruan tinggi. Tridharma yang mencakup pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat kini seolah memudar bersama dengan kebiasaan
mahasiswa yang kurang siap menghadap era digital.
Banyak dari mahasiswa
yang kini mengenyam pendidikan tinggi merasa bahwa pendidikan cukup
dilaksanakan di ruang-ruang kelas atau di kegiatan perkuliahan formal. Begitu
pula dengan keengganan mahasiswa untuk melakukan penelitian karena anggapan
bahwa penelitian membutuhkan seabrek referensi yang memusingkan. Kondisi itu
bermuara pada niat untuk mengabdi pada masyarakat yang terlampau rendah.
Pola pikir mahasiswa yang terlalu sempit
seperti itu yang membuat organisasi mahasiswa eksternal seperti HMI semakin
berat dalam melakukan regenerasi kader. Beban yang dipikul pengurus HMI untuk
melakukan kaderisasi menjadi lebih berat jika dibandingkan dengan situasi di
era Muhadjir Effendy atau Ridwan Saidi.
Awal mula pola pikir
mahasiswa yang berubah drastis itu terjadi karena pergeseran budaya yang
terlampau cepat. Jika alumni-alumni HMI seperti Jusuf Kalla dan Anies Baswedan
hidup di era sekarang, hampir tidak mungkin keduanya menghabiskan lebih banyak
waktu untuk bermain TikTok dan mobile
games, melihat pergunjingan masyarakat pada akun-akun ghibah di Instagram
atau menonton kehidupan sosialita di YouTube. Berdiskusi, membaca dan mencari
pengetahuan lewat berbagai sumber menjadi salah satu kegiatan utama bagi
kader-kader HMI yang kini menjadi alumni dengan segudang prestasi.
Pokok permasalahan itu
pula yang kini menjadi tantangan berat di HMI. Jika berkunjung ke seluruh
komisariat di Indonesia, sangat mudah menemui pemandangan para pengurus dan
kader yang sibuk dengan gawainya sembari memelototi keriuhan di dunia maya yang
sifatnya kurang bermanfaat. Budaya keorganisasian dan keilmuan di HMI seolah
luntur karena aktifitas-aktifitas tersebut.
Kebiasaan di atas
memunculkan masalah kedua: kader HMI yang hanya fokus pada kedudukan di
organisasi pemerintahan mahasiswa dan tidak mampu mengimplementasikan tujuan
HMI di posisi-posisi tersebut. Jamak kita temui, kader organisasi ekternal yang
terpilih menjadi presiden mahasiswa atau ketua organisasi legislatif mahasiswa
yang melakukan praktek kolusi dan nepotisme dengan memilih pengurus kabinet
dari organisasinya saja dengan dalih “berterima kasih” atas terpilihnya
individu tersebut ke kursi kekuasaan. Praktek seperti itu memang tidak
sepenuhnya salah. Manusia cenderung memilih orang yang dikenal atau dekat
dengan dirinya demi kenyamanan dalam bekerja. Namun, ketika pilihan tersebut tidak
diimbangi dengan ilmu pengetahuan yang mumpuni, muncullah kolusi dan nepotisme
yang membuat banyak mahasiswa enggan untuk bergabung dengan organisasi
eksternal.
Berkaca dari pengalaman
alumni HMI, bekerja sama dengan orang-orang dari latar belakang organisasi yang
berbeda menjadi suatu keharusan dan memang tak dapat dihindari. Seperti Anies
Baswedan ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang harus bekerja
sama dengan Khofifah Indar Parawansa, seorang alumni PMII yang ketika itu duduk
di kursi Menteri Sosial. Muhadjir Effendy sebagai Menteri Koordinator
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan juga harus selalu berkoordinasi dengan
Pramono Anung, Sekretaris Kabinet alumni GMNI.
Masih banyak
contoh-contoh lain dari alumni HMI yang bisa diteladani. Jika seluruh kader HMI
benar-benar mau menjadi insan akademis pencipta, pengabdi yang bernafaskan
Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diridhai Alloh SWT, jalan literasi dan toleransi terhadap organisasi kemahasiswaan
lainnya wajib menjadi tonggak utama pengembangan organisasi.
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.