Friday 11 December 2015

  Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Rasio laki-laki dan perempuan di Indonesia adalah 100,70 atau 100 perempuan banding 101 laki-laki pada tahun 2010. Jika total penduduk Indonesia adalah 245,1 juta jiwa, maka jumlah laki-laki akan surplus begitu banyak dibanding perempuan. Saya menggunakan istilah “begitu banyak” karena saking banyaknya hingga saya tak bisa menghitungnya, bukan karena jumlahnya terlalu banyak, melainkan karena saya tidak menguasai matematika. Ketika sekolah, nilai 5 adalah nilai yang terlalu baik buat saya. Saya lebih suka mendapat nilai 4 daripada 5. Karena nilai 4 untuk pelajaran matematika bagi saya adalah sesuatu yang realistis. Nilai 5 adalah suatu kebohongan, atau kadang bentuk rasa kasihan guru kepada saya.

  Kembali ke soal rasio penduduk, jika jumlah di atas tetap stabil dan tidak mengalami peningkatan atau pengurangan, maka Indonesia akan mengalami ledakan jumlah pria jomblo pada tahun 2025. Akan ada ribuan, bahkan mungkin jutaan, pria jomblo di negeri Setya Novanto ini. Pria jomblo akan menjadi terlalu banyak hingga kejombloan menjadi tren untuk para pria. Sama seperti pomade atau kemeja kotak-kotak. Tren menjadi pria jomblo membuat kaum adam berlomba-lomba untuk berpakaian, bergaya, dan berperilaku sejelek dan semiskin mungkin. Agar tak ada perempuan (terutama perempuan materialistis atau matre) yang ingin mendekati. Pasar loak akan menjadi tempat nongkrong yang sangat ramai dikunjungi oleh lelaki yang sangat ingin mengikuti tren jomblo. Jauh lebih ramai dari kafe dengan koneksi wifi super cepat. Pakaian bekas akan menjadi simbol para lelaki dan akan menjadi simbol yang lebih terkenal dari susu L-men dan Harley Davidson. Minyak wangi dengan aroma maskulin tidak akan laku di pasaran. Kaum adam lebih memilih mengharumkan tubuh dengan  Baygon atau kamper dengan berbagai merek agar tidak ada perempuan yang mau melirik. Masih banyak peristiwa tidak mengenakkan jika memang menjadi jomblo adalah tren bagi lelaki.

  Semua hal di atas bisa diatasi dengan satu cara mudah. Dengan rasio 101 laki-laki untuk 100 perempuan, ada satu fenomena sosial yang wajib diwaspadai atau bahkan ditekan. Fenomena tersebut adalah pernikahan (atau pengumpulan kerbau) perempuan WNI dengan pria WNA. Walaupun saya bukan orang yang anti dengan hubungan antar bangsa atau antar ras, apa daya, Indonesia sedang mengalami darurat pria jomblo. Selain kejombloan yang akan jadi tren bagi lelaki, masih ada hal lain yang patut diwaspadai dari ledakan pria jomblo. Akan ada banyak fakir cinta di kalangan laki-laki. Lelaki seperti itu akan berjalan di perempatan, mengenakan pakaian lusuh, dengan membawa tulisan. “Tolong bantu saya mencari pasangan. Saya sudah jomblo 10 tahun.” Tidak hanya lelaki lusuh, saya yakin akan ada pula LSM peduli jomblo yang berunjuk rasa menuntut kepedulian perempuan di bundaran HI. Bahkan, jika para fakir cinta sudah tidak terkendali, pemerintah akan turun tangan dengan mengalokasikan sebagian APBN untuk menyantuni pria fakir cinta.

 
Ini Cassandra Lee.

  Anda pasti kenal dengan Pevita Pearce, Cassandra Lee, Kimberly Ryder, Shae, Dahlia Poland dan masih banyak lagi nama-nama figur publik lain yang lahir dari ibu asal Indonesia dan ayah dari luar negeri alias ayah asing. Jika dunia hiburan saja sudah dikuasai oleh makhluk-makhluk setengah asing, tidak menutup kemungkinan sektor-sektor lain juga dikuasai oleh mereka. Para sutradara film sudah terlalu mendewakan wajah-wajah setengah Indonesia. Tengok saja film Tiger Boy karya Nayato Fio Nuala alias Koya Pagayo alias Ian Jacobs alias Pingkan Utari. Entah siapa nama aslinya. Mungkin dia adalah buronan yang sedang menyamar menjadi sutradara dengan film kelas bekicot. Dalam film tersebut, ada empat manusia setengah asing yang mendapatkan peran dalam film yang diproduseri oleh Chand Parwez itu. Jujur, bagi sebagian besar orang, akting keempatnya tidak spesial, istimewa, rasa keju, atau original. Cassandra Lee dalam film itu berperan sebagai gadis betawi. Cukup aneh bagi saya. Masih banyak talenta asli betawi yang jauh lebih pantas memerankan gadis betawi seperti Laila Sari daripada Cassandra yang jelas-jelas bukan betawi asli.

  Saya tidak ingin laki-laki asli Indonesia terjajah di negeri sendiri akibat perempuan yang terlalu mengagungkan pria asing. Saya khawatir, saking banyaknya pria asing, sampai-sampai lelaki asli Indonesia harus memakai paspor dan visa untuk tinggal di negerinya sendiri. Saya tidak ingin melihat laki-laki Indonesia berpakaian lusuh duduk di trotoar, kehausan cinta dan kelaparan asmara.

Cintailah (pria) produk Indonesia. 

0 comments:

Post a Comment