Menjelang
Pemilihan Presiden 2019, semua kegiatan, kapanpun waktunya dan apapun
tujuannya, selalu dihubungkan dengan dunia politik. Namun, sayangnya, persaingan
politik satu tahun terakhir menjadi ajang yang kurang sehat, serangan yang
menjurus pada kepercayaan dan keyakinan individu serta argumen-argumen lemah
yang dilontarkan tanpa bukti menjadi tanda akan dunia politik yang kurang
cerdas dan berkualitas.
Kedua
pasangan calon seolah disibukkan dengan peryataan masing-masing yang mengundang
kontroversi. Tampang Boyolali, Genderuwo hingga Sontoloyo menjadi kata-kata
yang didengar masyarakat sehari-hari. Calon pemilih cukup jarang mendengar
pemaparan program kerja dari para kandidat capres dan cawapres. Ketika
berkampanye di lapangan melalui kunjungan ke pasar, pondok pesantren dan
seremoni peresmian berbagai macam komunitas hampir selalu dihiasi pernyataan
yang berfokus pada kalimat-kalimat yang sifatnya ofensif bagi kubu yang
berlawanan. Visi, misi dan program masing-masing calon tampak seperti hiasan
atau sekedar tempelan agar kampanye mereka terlihat serius. Penjelasan yang
detail mengenai program, diskusi yang sehat dan penjababaran visi hampir tidak
terdengar selama hampir 4 bulan masa kampanye. Lantas, bagaimana seharusnya
kandidat nomor 01 dan 02 berkampanye?
Kampanye
menurut KBBI adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau
calon yang bersaing dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa
pemilih dalam suatu pemungutan suara. Berdasarkan UU no. 32 tahun 2004,
kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan misi, visi dan program calon. Berdasarkan
definisi di atas, dapat disimpulkan gaya berkampanye dari masing-masing calon
sangat tidak sesuai dengan makna bahasa atau ketentuan hukum yang berlaku.
Kedua pasangan calon kini tidak terlihat berusaha mendapat dukungan dari
pemilih, mereka malah sibuk mempengaruhi pemilih agar membenci pihak lawan.
Memang, tak semua kegiatan tersebut mengandung ujaran-ujaran yang menyindir
atau berpotensi menyebabkan kebencian. Namun, hampir setiap hari muncul
kalimat-kalimat yang keluar dari mulut tim sukses atau sang calon bernada
menyudutkan atau menyerang pihak lain. Sebagian besar dari serangan tersebut
tidak substansial, seperti tantangan membaca Al-Qur’an atau menjadi imam
sholat.
Masing-masing
pasangan calon seyogianya berkampanye dengan menunjukkan program yang
diunggulkan. Serangan atau kritik yang sifatnya pribadi dan tidak termasuk
dalam program wajib dihindari atau bahkan dihapuskan dari kebiasaan para
kandidat dan tim pemenangan mereka. Adu program tersebut juga salah satu sarana
untuk mengedukasi masyarakat mengenai kampanye sehat. Jika rakyat sudah
terbiasa mendengar dan melihat calon presiden dan wakil presidennya memaparkan
program yang diusung tanpa embel-embel hujatan, secara tidak langsung seluruh
lapisan masyarakat tidak akan saling hina dan bertikai satu sama lain, siapapun
yang menjadi pilihan masing-masing individu pada 17 April mendatang.
Polarisasai
yang terjadi kini dapat mengancam budaya masyarakat Indonesia yang luhur, penuh
kebersamaan dan toleransi. Perpecahan akibat pandangan politik mencuat pada
tahun 2014, ketika calon presiden yang ada di kertas suara sama seperti
pemilihan presiden 2019. Selepas Pemilu 2014 dan presiden terpilih resmi
dilantik, polarisasi justru kian tajam hingga menimbulkan istilah baru yang
berbau kefaunaan seperti cebong dan kampret. Menurut Simon Sinek, seorang pakar
kepemimpinan dalam buku best seller
karyanya berjudul Leaders Eat Last,
instansi, lembaga atau perusahaan yang dipimpin oleh pemimpin yang baik akan
menularkan budaya yang baik pula pada lingkungan yang dia pimpin. Begitu juga
sebaliknya. Pemimpin buruk akan menghasilkan budaya yang buruk, walaupun pada
tempat yang dipimpinnya itu sudah mengakar kebiasaan-kebiasaan yang baik. Indonesia
pada Pemilu 2004 dan 2009 masih dipenuhi suka cita dengan berbagai kampanye
yang mengandalkan program kerja masing-masing pasangan calon. Siapapun
pilihannya, seusai Pemilu seluruh masyarakat hidup berdampingan, tanpa ada
sentimen politik panas yang disertai ungkapan-ungkapan bernada kasar dan
menghujat.
Pasca
Pemilu 2014, publik hampir setiap hari terpapar komentar dan pendapat negatif
dari dua kubu yang seolah tak bisa bersatu bagai Kris Hatta dan Billy
Syahputra. Masalah tersebut menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah pada cara
memimpin orang-orang yang kini menduduki jabatan penting di NKRI. Ciri-ciri
lainnya adalah pemimpin yang haus pujian dan dukungan, bahkan meminta agar ada
demo mendukung di depan tempat kerjanya. Seorang pemimpin adalah penanggung
jawab. Tanggung jawab sebesar apapun tidak membutuhkan pujian dan dukungan
orang lain, karena tanggung jawab adalah kewajiban yang harus diemban.
Saran
saya kepada siapapun yang terlibat pada Pemilu 2019, Anda-anda semua harus
memperbanyak pertemuan informal. Iya, pertemuan tidak formal. Jika tim sukses
dari kedua kubu hanya bertemu saat ada undangan di acara TV atau rapat-rapat
yang sifatnya resmi, sangat sedikit waktu yang ada untuk mengenal satu sama
lain secara pribadi. Jika saja Ali Ngabalin dan Ferdinand Hutahean lebih sering
jalan-jalan bersama keliling Monas atau menyesap kopi berdua di kedai-kedai
kopi Nusantara yang kini menjamur, mungkin argumen dan pendapat yang
dilontarkan keduanya akan lebih santun dan tidak terkesan ofensif. Alangkah
indahnya jika Fadli Zon dan Budiman Sudjatmiko sering bercengkrama di luar jam
kerja, bersama-sama membuat cover video musisi
ternama atau sekedar duduk sembari mengobrol dan minum Thai tea di depan Indomerat. Pada kegiatan-kegiatan tersebut, kedua
kubu akan melihat kubu lain yang berbeda pandangan politiknya sebagai sesama
manusia. Bukan sebagai cebong dan kampret.
Sederhana,
memang. Namun, dari aktifitas yang sederhana itu akan muncul empati terhadap
satu sama lain. Cara tersebut juga sudah terbukti di negara lain. Politisi
Amerika Serikat di era Nixon sering menghabiskan waktu bersama. Apapun partai
atau ideologinya, mereka tetap makan
siang bersama atau berbincang-bincang di luar jam kerja. Namun, setelah era
tersebut, kebiasaan itu memudar hingga mencapai puncak polarisasi ketika Donald
Trump terpilih sebagai presiden.
Semoga
perpecahan dan kebencian terhadap satu sama lain bisa segera hilang, demi
suasana politik yang sehat.
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.