Mata Budi terus berkedip. Jam di atas pintu kamar dipandanginya
dengan seksama. Pukul 03.30 pagi, 10 November 2017. Dua dasa warsa telah resmi
dijalaninya sebagai penduduk Bumi. Hati yang senang karena rasa syukur diiringi
sedikit kecemasan mengenai hidupnya yang tidak sempurna. Sholat subuh
ditunaikan dengan rasa kantuk yang melekat seperti cicak di permukaan tembok.
Hati dan pikirannya sedang gundah. Perasaan yang tidak pernah dialami oleh Budi
sebelumnya tiba-tiba menyeruak dan menyerang kehidupannya yang bagi banyak
orang terlihat tenang dan bahagia.
Ina, perempuan yang membuat Budi tidak sanggup memahami
perasaannya sendiri. Dua tahun berlalu sejak mereka bertemu pertama kali di kursus
Bahasa Inggris tempat Budi menimba ilmu selama 7 tahun terakhir. Budi memang
siswa terlama di tempat itu. Kecintaannya pada Bahasa Inggris tidak menghalangi
Budi untuk terus belajar walaupun para pembimbingnya sudah berganti puluhan
kali dan teman sejawatnya di tempat kursus itu sudah banyak berubah. Krisis ekonomi
yang melanda negaranya dan memengaruhi usaha milik orang tuanya hingga Budi
sering menunggak uang les tidak membuatnya patah arang. Apapun rela dilakoninya
untuk tetap belajar di lembaga kursus yang setiap dua kali seminggu dia datangi
dengan mengayuh sepeda sejauh 4 kilometer.
Budi yakin, Ina bukan perempuan biasa. Pembawaannya yang
kalem dan tak banyak bicara menyiratkan kesan misterius yang membuat Budi
penasaran. Kesabarannya dalam membimbing setiap murid termasuk Budi sebagai
siswa tertua di antara siswa-siswanya yang lain mengundang ketertarikan untuk
mengenal perempuan berkerudung itu lebih dalam. Ina memang sosok perempuan yang
berbeda dengan kaum hawa lainnya. Budi ingat betul, pertama kali ia melihat
pribadi Ina sebagai wanita yang unik dan brilian adalah saat Ina mengajaknya
berbicara tentang pembajakan musik. Tema pembicaraan yang sangat aneh untuk
dibicarakan. Selama hidupnya, hanya sang ayah yang pernah bicara kepadanya
dengan serius tentang hal itu.
Ina adalah sosok
pendiam yang sangat jarang bersuara jika memang tidak benar-benar penting.
Obrolan tentang pembajakan musik itu berlangsung singkat, namun sangat berarti
bagi Budi karena dari percakapan itulah, Budi merasa jika ia dapat memahami bagaimana
karakter Ina yang sesungguhnya. Pasca peristiwa itu, mulai muncul perasaan suka
walaupun rasa itu dapat ditolak oleh Budi karena ia yakin itu hanya godaan
semata. Bagi kebanyakan orang, Ina mungkin sosok yang cukup tertutup dan aneh.
Namun, keanehan itulah yang membuat Budi tertarik. Baginya, segala sifat itu
memiliki makna yang sangat positif karena Budi sendiri kadang merasa aneh
dengan apa yang ada di hati dan pikirannya.
Perayaan hari kelahirannya segera dimulai. Hidangan sudah
tersedia lengkap di atas koran yang melapisi karpet abu-abu tipis. Kawan
dekatnya telah hadir membawa setumpuk harapan untuk makan enak malam itu. Empat
orang undangan dan satu tuan rumah berbincang dengan hangat. Budi memanfaatkan
malam itu untuk menanyakan satu kalimat sederhana yang sedang mengganggu pikirannya
satu minggu terakhir. Sebagai tuan rumah yang baik, Budi bertanya dengan sangat
hati-hati namun tetap lugas. “Pernah nggak,
ada perempuan yang tanya kalau kamu ngerokok
atau nggak?” Budi bertanya dengan
ekspresi gembira yang selalu menghiasi raut wajahnya walau kebingungan sedang
melanda. Jawaban dari kawan-kawannya bervariasi. Satu kesimpulan yang dapat
ditarik Budi malam itu, pertanyaan yang dilontarkan Ina satu minggu sebelumnya
bukan pertanyaan basa-basi seperti kebanyakan perempuan yang ingin terlihat
ramah. Mungkin Ina ingin mengenal Budi lebih dalam. Entah apa tujuannya. Budi
masih sibuk memikirkan kesempatan hidup yang semakin singkat setelah hari
jadinya yang ke-20.
Setelah pertanyaan itu, Ina terasa semakin dekat. Bahasa
tubuhnya seolah memberi maksud terselubung yang tak dapat Budi pahami. Posisi
duduk Ina berubah. Tubuhnya mendekat dan Kakinya selalu menghadap ke arah Budi
walaupun mereka tidak berinteraksi dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Ketika Budi bertanya tentang apa yang sedang sibuk ditertawakan oleh Ina di
layar ponselnya, Ina menunjukkan meme lucu yang memang sangat menggelitik. Pada
momen itulah, Budi menyadari ada sesuatu yang aneh karena Ina tak pernah
melakukan itu sebelumnya kepada siapapun murid yang ia bimbing. Pribadinya
sangat tertutup jika sudah menyangkut kesibukannya dengan ponsel pintar,
terutama kepada para siswanya. Budi
semakin penasaran dengan apa yang terjadi dalam diri Ina.
Sepekan berikutnya, Budi tidak sengaja bertanya tentang
latar belakang pendidikan Ina hingga bagaimana ia bisa mengabdi pada tempat
kursus di pinggiran kota. Ina menceritakan pengalamannya dengan antusias. Budi
tak pernah melihat Ina berbicara dengan semangat setinggi itu karena Ina lebih
banyak diam saat bertemu orang lain. Ina menceritakan bagaimana dia terjun
dalam dunia pendidikan, bidang yang sesungguhnya tidak pernah ia minati. Ina
menjelaskan sekelumit mimpi masa kecilnya dan bagaimana perasaannya ketika
sebagian besar mimpi itu tak terwujud. Ina memberikan sedikit opininya tentang
bagaimana perempuan harus bersikap ketika tanggung jawab utamanya adalah
membesarkan buah hati. Budi bersimpati pada Ina, Budi pada awalnya menganggap
Ina sebagai sosok pesimistis walau Ina merasa pesimisme itu adalah adalah
bentuk perasaan realistis yang selalu ia yakini.
Tak terasa, 30 menit berselang. Temaram lampu kelas telah
lenyap dan hampir seluruh insan di tempat itu beranjak pulang. Ina berterima
kasih pada Budi karena waktu yang diluangkannya untuk sekedar mendengarkan
sebagian kecil kisah hidupnya. Budi menolak ucapan itu. Budi merasa jika
mendengarkan pendapat dan keluh kesah orang lain adalah kewajiban yang harus
diembannya hingga akhir hayat karena hanya dengan cara itu Budi bisa membantu
orang lain. Baginya, merasa didengarkan adalah jalan terbaik menuju
kebahagiaan.
Pertemuan selanjutnya, Ina balik bertanya mengenai kehidupan
Budi. Bukan pertanyaan serius, memang. Ina hanya bertanya tentang bagaimana di
usia Budi sekarang, dia tidak segera duduk di bangku perguruan tinggi. Budi
jauh lebih banyak menjelaskan tentang dirinya dan Ina sabar mendengarkan ocehan
Budi yang sangat susah untuk diam. Jawaban Budi lebih panjang dari pertanyaan
yang dilontarkan Ina, namun ketika Ina mengutarakan pendapatnya, Budi merasa
takjub. Ada sesuatu dalam pribadi Ina yang membuat Budi terkesan. Budi sendiri
tak tahu apa yang membuat dirinya merasa tertarik. Tak terasa sudah hampir satu
jam berlalu. Berbicara dengan Ina memang membuat Budi lupa akan kehidupan di
sekitarnya. Ketika kursus hari itu usai, Budi semakin mempertanyakan apa yang
sedang terjadi dalam hatinya.
Budi tidak pernah segundah ini. Sebelum kecemasan ini
hinggap, hidupnya cukup bahagia walau tidak bisa dibilang sempurna. Perasaan
ini tidak pernah dia alami sepanjang 20 tahun perjalanannya sebagai manusia.
Budi merasa sangat peduli dengan apa yang Ina alami dan rasakan. Tak hanya itu,
Budi memikirkan masa depan yang diyakininya akan sangat cerah jika ia lalui
bersama Ina. Suka. Budi merasa suka dengan Ina. Budi tahu, perasaan itu sangat
jauh dari kata wajar. Ina adalah pembimbingya, guru sekaligus pendamping dalam
proses belajar. Tidak seharusnya Budi merasa suka dengan seorang guru yang 7
tahun lebih tua darinya. Mungkinkah ini hanya godaan? Budi bertanya dan
merenungkan suasana hatinya. Budi yakin ini bukan godaan karena secara fisik,
Ina jauh dari gadis impian Budi selama ini. Budi juga tidak pernah merasakan
hal yang sama pada perempuan lain yang datang dan pergi di kehidupannya. Ketika
ia menyukai seseorang, semakin dalam dirinya mengenal perempuan itu, perasaannya
menipis dan lambat laun menguap begitu saja. Lain halnya dengan perasaannya
terhadap Ina. Saat Budi mengenal kepribadian Ina lebih dalam, dirinya semakin
menyukai Ina. Budi mengerti jika ia tidak bisa mengenal Ina seutuhnya karena karakter
Ina mirip dengan Bumi yang memiliki berbagai lapisan dan hanya Tuhan dan Ina
sendiri yang mampu memahami lapisan terdalam hatinya.
Cara Ina berpikir, memandang dunia dan bersikap kepada
lingkungan sekitarnya membuat Budi terjatuh semakin dalam pada kubangan rasa
suka. Alasan itulah yang membuatnya yakin jika hidup bersama Ina akan membuat
dirinya menjadi pribadi yang selalu berkembang dan lebih baik dari waktu ke
waktu. Budi cemas. Tak seharusnya rasa itu tertancap. Namun, semakin kuat
penolakan dalam dirinya, rasa itu ikut menguat. Hatinya berontak. Tak tahu apa
yang harus dilakukan. Budi yakin Ina tak mungkin menyimpan perasaan serupa
karena Ina jauh lebih tua, lebih kaya pengalaman dan bersikap lebih dewasa. Budi
tidak mungkin menceritakan isi hatinya itu kepada siapapun. Orang tuanya akan
memberi solusi yang akan menambah kegelisahannya dan kawan terdekatnya akan
menganggap dia sebagai sosok aneh dan berperilaku tidak wajar. Budi terpaksa
memendam perasaan itu hingga hati dan pikirannya tidak sanggup membendung
semuanya.
Pukul 02.00. Budi masih terjaga akibat perasaan itu. Dua
pekan terakhir dilaluinya dengan waktu tidur yang berkurang drastis akibat gangguan
pada pikiran dan hatinya. Budi terisak. Tangis itu adalah air mata pertamanya
dalam dua tahun terakhir. Budi benar-benar tidak tahu bagaimana cara menanggapi
perasaan yang menggerogoti jiwanya yang ceria. Rasa suka itu tak bisa ia tolak
namun tak sanggup pula Budi menerimanya. Sangat banyak air mata mengalir ke
permukaan bantal merah kesayangannya. Kala matanya terpejam, tangis kembali
mendesak kedua matanya untuk terbuka hingga ia lelah dan terlelap akibat
terlalu lama menangis.
Segala cara dilakukan Budi demi jalan keluar terbaik bagi
perasaan yang terus-menerus menyiksa dirinya. Sudah tiga hari terakhir ia
menghabiskan waktunya di tengah malam hanya untuk melampiaskan rasa itu dengan
tangis. Sholat istikharah rampung sudah ia tunaikan. Rasa itu tetap terpatri
dalam hatinya. Sirna sudah harapan agar perasaan itu lenyap setelah dia memohon
dengan sangat kepada Sang Pencipta. Budi berpikir, mungkin Tuhan punya rencana
lain yang tidak bisa dipahaminya. Budi bahkan meriset perasaannya di Google.
Membaca berbagai artikel dan forum daring yang membahas kepribadian hingga mengunduh
buku digital tentang psikologi. Semua pencarian yang dilakukannya mengerucut
pada satu titik yang membuat Budi semakin susah menolak isi hatinya. Ina memang
benar-benar berbeda dengan manusia kebanyakan. Salah satu survei yang dibaca
Budi menegaskan jika manusia dengan kepribadian seperti Ina hanya ada satu
persen di seluruh dunia. Budi melihat Ina sebagai perempuan yang otentik. Ina
memiliki keunikan yang tak akan ditemui Budi pada diri orang lain. Secuil
informasi itu memperdalam rasa sukanya. Budi semakin tertekan setelah
mengetahui itu semua. Air matanya mengucur lebih deras, dadanya sesak dan
pencernaannya terganggu. Siksaan batin itu kini menyerang kesehatan jasmaninya.
Sudah, cukup. Budi tak tahan dengan tekanan batin akibat
perasaan tak wajar itu. Budi terpaksa mengambil jalan terakhir yang dipilihnya
karena pikiran dan hatinya sampai pada titik yang tak mampu ia bendung. Budi
harus terbuka pada Ina mengenai perasaannya yang begitu dalam. Budi memikirkan
bagaimana cara agar Ina tetap merasa nyaman walaupun apa yang akan
diungkapkannya itu jauh dari kata normal dan berpotensi membuat Ina terganggu.
Budi berpikir keras demi menata kata-kata yang tepat untuk menjelaskan isi
hatinya kepada Ina. Pertemuan berikutnya sudah ia rencanakan untuk jadi salah
satu momen paling melegakan sekaligus menegangkan dalam hidupnya. Namun, ketika
seluruh rencana itu selesai, Budi ciut nyali. Sesuatu dalam dirinya menarik
kembali apa yang sudah dipikirkannya jauh-jauh hari. Budi gagal. Entah sampai
kapan ia harus menunggu sebelum batinnya semakin kacau dan kondisi fisik yang
ikut memburuk.
“Aku sedang menyukai perempuan yang lebih tua dariku. Aku
tahu ini salah, tak seharusnya perasaan ini muncul, aku juga tak berharap bisa
memiliki perasaan seperti ini, namun sangat susah bagiku untuk menolaknya.”
Budi mengungkapkan semua itu dengan intonasi sedatar mungkin, tetap saja
suaranya berkali-kali tercekat akibat hatinya yang terlalu gundah. “Suka? Kamu
yakin itu rasa suka? Bisa jadi itu hanya godaan?” “Tidak, aku tahu godaan itu
seperti apa. Aku laki-laki, aku pasti tergoda sepanjang waktu. Secara fisik,
aku sama sekali tidak menyukai perempuan ini.” “Apa yang membuatmu suka dengan
perempuan itu?” “Kepribadiannya, cara dia berpikir.” “ Kamu bertemu dia setiap
hari?” “ Tidak, hanya dua kali seminggu.” Percakapan itu terhenti beberapa
menit. Budi menunduk. Ina menengadahkan kepalanya. “Apa yang harus aku
lakukan?” “Entahlah. Kau harus menimbang mana jalan terbaik yang akan kau
pilih. Aku tahu kamu orang yang bijaksana. Pulanglah. Istirahat dan berdoalah.”
Budi terdiam. Matanya sembab. Wajah muramnya tertutupi oleh jaket hitam yang ia
lingkarkan ke sekeliling kepalanya. Budi sengaja tidak berbicara dengan
gamblang agar dialognya tidak terkesan canggung dan Ina tetap bisa merasa
nyaman. Meski begitu, Budi menyelipkan pesan tersirat dalam kata-katanya agar
Ina memiliki kesempatan untuk memikirkan setiap ucapan Budi. Budi tahu, Ina
adalah seorang pemikir. Ina akan terus memikirkan apa yang ia dengar dan
berusaha menganalisanya dengan sangat dalam.
Hari itu, empat hari setelah Budi terpaksa mengungkapkan
perasaannya, Ina bersikap dingin. Ina memang tak jarang menampilkan kesan
dingin pada sosoknya. Namun, dingin saat itu termasuk sesuatu yang tak biasa.
Ina berperilaku sedingin lemari es khusus ikan segar di pusat perbelanjaan.
Sangat dingin dan terasa amis bagi Budi. Ia tahu, ada yang salah dengan
ucapannya. Budi masih berusaha menerka semua yang dikatakan olehnya empat hari
yang lalu. Budi belum bisa menyimpulkan apapun karena sikap Ina belum mencapai
titik terang dan Budi baru bertemu dengannya selama beberapa menit pasca
peristiwa itu. Satu hal yang diyakininya, Ina pasti telah memikirkan semua
ungkapan isi hati Budi dengan sangat dalam. Apapun yang Ina lakukan, semua itu
pasti sudah ia pertimbangkan.
Tidak nyaman. Hanya itu kata yang tepat menggambarkan sikap
Ina pada Budi. Budi merasa jika Ina sangat tidak nyaman dengan apa yang
terpaksa diucapkannya beberapa hari yang lalu. Budi sudah memikirkan
konsekuensi itu, namun ketika itu terjadi, Budi merasa sangat bersalah pada
Ina. Tak sanggup jiwanya memikul beban dari rasa bersalah itu. Ina sudah
terlalu baik pada Budi. Kebaikan itu malah dibalasnya dengan perasaan tak
nyaman bagi diri Ina. Budi benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Isak tangis
di tengah malam kembali menjadi pelampiasan hatinya. Budi malu kepada dirinya
sendiri. Budi yakin ia telah menginvasi ranah pribadi Ina, mengganggunya dan
membuatnya tak nyaman. Budi merasa jika mengungkapkan perasaannya pada Ina
adalah dosa terbesar dalam hidupnya. Tak seharusnya itu terjadi jika pada
akhirnya Ina terganggu dan tidak nyaman dengan apa yang Budi lakukan. Baginya,
memanggul perasaan bersalah jauh lebih buruk daripada menyimpan rasa suka yang
terlalu dalam.
“Mulai besok, kamu belajarnya sama Kak Rita, ya.” Ucapan Ina
itu membuat Budi tertunduk. Budi yakin, itu adalah tanda ketidaknyamanan yang
sudah memuncak dalam diri Ina. Rita, rekan kerja Ina, memperparah gejolak
perasaan Budi dengan memberinya alasan yang terlampau lemah. Budi tahu, alasan
mengenai pemindahan murid yang dikemukakan Rita hanyalah kedok untuk menutupi
satu alasan yang lebih besar. Budi semakin merasa berdosa. Rasa tidak nyaman
itu sudah terlalu membebani Ina. Budi harus bertanggung jawab dan permohonan
maaf kepada Ina mungkin jadi satu-satunya jalan karena Budi tak bisa memikirkan
cara selain itu. Rencana untuk meminta maaf sudah dipikirkannya dengan sedetail
mungkin. Saat Budi sudah mendapat kesempatan emas untuk menjalankan rencana
itu, hatinya berontak. Rasa bersalah itu sudah terlalu kuat hingga ia tak
sanggup memaafkan dirinya sendiri. Budi merasa malu dengan apa yang telah ia
perbuat. Budi kini merasa tidak pantas dimaafkan oleh Ina. Kesalahannya sudah
terlalu berat dan kata maaf tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan itu.
Budi hanya bisa memandangi Ina dari jauh ketika segala rencana untuk memohon
maaf gagal terlaksana.
Budi merasa seperti pecundang. Mengucap kata maaf pun tak
mampu dilakukannya. Rasa bersalah itu telah merenggut jiwanya. Budi menganggap
dirinya adalah suatu kekecewaan bagi dunia. Budi bahkan tak percaya dengan masa
depannya sendiri. Perasaan berdosa itu membuat Budi memandang masa depan dengan
kegelapan dan kepedihan. Entah apa yang harus dia perbuat untuk menghilangkan
rasa tidak nyaman pada diri Ina. Dua minggu berselang, langkah kaki Budi
semakin berat, kayuhan sepedanya melambat dan hatinya masih tak tenang. Hari
kursus pertama setelah libur tahun baru itu dijalaninya dengan kekhawatiran
setelah melihat meja yang biasa digunakan Ina kini kosong tak bertuan. “Kak Ina
kemana, Kak?” “Kak Ina sudah nggak kerja
di sini lagi.” Jawaban Rita itu sangat menyesakkan bagi Budi. Kesalahannya yang
tak termaafkan itu akan menghantuinya seumur hidup. Budi menatap jendela kelas.
Hujan tak kunjung reda. Siksaan batin akibat perbuatannya menghujani perasaan
Budi. Budi tak tahu kapan cobaan bagi hatinya itu berhenti.
Done
ReplyDeleteClick to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.