“Aku nggak bisa merasa bersalah terus-menerus. Aku harus
melakukan sesuatu. Mungkin aku harus bicara ke dia.” Budi menatap ke arah Jaka
dengan penuh kesedihan. Bakmie ayam pedas yang dilahap keduanya sejak 15 menit
yang lalu sudah tak panas lagi. Jaka mengetukkan jarinya pada mangkok mie
sembari menjawab, “Udah, kamu lakukan aja. Aku akan selalu mendukung, kok.”
Jaka tersenyum. Hujan gerimis membasahi aspal berlubang yang dilewati mereka
dalam perjalanan menuju rumah Jaka. “Pertemukan aku dengan Tia. Aku harus
mendengar perspektif dari seorang perempuan mengenai masalah ini.” Budi
memandangi Jaka yang sedang asyik memainkan ponselnya di ruang tamu. “Buat apa?
Kamu tahu rumahnya. Kamu bisa datang sendiri.” “Tapi dia itu pacarmu,
setidaknya kamu temani aku ke rumahnya.” Budi menunduk. Kepalanya masih
dipenuhi oleh kenangan tiga bulan lalu saat ia bertemu kali terakhir dengan
Ina.
Ina tidak menghilang begitu saja. Budi tahu di mana Ina
bekerja sekarang dari banyak informasi yang dikumpulkannya. Alamat kediamannya sudah
berada di genggaman Budi. Nama kedua orang tuanya juga benar-benar diingat
olehnya. Budi hanya tak tahu kapan dan bagaimana dia memohon maaf pada Ina
setelah semua yang telah terjadi. Ponsel Budi berdering, Jaka mengabarkan jika
ia akan datang ke kenduri kebudayaan yang diadakan oleh salah satu perguruan
tinggi negeri. Tia juga akan hadir di situ. Selama 7 tahun Budi bersahabat
dengan Jaka, pada momen ini Budi menyadari betapa berharganya persahabatan yang
ia jalin dengan Jaka. Tia yang kini menjadi kekasih Jaka juga memberikan begitu
banyak dukungan moral yang tak akan bisa dibalasnya. Hujan deras masih
mengguyur lapangan tempat kenduri kebudayaan berlangsung. Jaka, Tia, Budi dan
Ricky, sahabat Budi yang juga kawan sekampus Tia, berteduh di salah satu pintu
gedung kampus tersebut. Jaka dan Ricky berlari ke arah lapangan dan
meninggalkan Budi dan Tia berdua di tempat itu. Budi mengungkapkan semua
kegundahannya mengenai rasa bersalahnya pada Ina. Tia mendengarkan dengan
seksama. Tangis hampir saja tumpah dari mata Budi. Ketegaran hatinya
menghalangi jatuhnya air yang sudah berkumpul di pelupuk mata. “Kamu harus
memperjelas masalah ini. Ungkapkan semua yang ada di perasaanmu ke dia. Kamu
juga harus mendengarkan semua yang dia katakan. Semoga masalah ini cepat
selesai dan kamu nggak galau lagi.”
Tia menatap mata sembab Budi dengan serius. Kenduri kebudayaan telah usai.
Perjalanan Budi menuju rumah dilaluinya dengan kondisi hati tak menentu.
Ponsel Budi berdering. Tia membalas pesan singkat Budi. Hari
Minggu pekan depan Tia tidak memiliki rencana apapun dengan Jaka. Budi
mengontak Jaka dan mengabarkan mengenai rencananya untuk memohon maaf langsung
ke rumah Ina. Jaka menerima ajakan Budi untuk mengantarnya menuju kediaman Ina.
Hari dan tanggal sudah ditentukan dan dipersiapkan dengan matang oleh Budi.
Paket sembako berisi minyak goreng, gula pasir, dua kotak teh celup dan dua
batang cokelat sudah dibungkus dengan rapi olehnya. Jam dinding telah
menunjukkan pukul 02.00 WIB. Dua hari lagi Budi dan Jaka akan mengeksekusi
semua rencana mereka. Budi masih terjaga dengan perasaan cemas akan reaksi Ina
dan kondisi lainnya yang dapat menghalangi perjalanan demi kata maaf itu. Air
mata menitik pelan dari matanya. Ingatan Budi tentang kebaikan dan pendapat Ina
mengenai dirinya menambah perihnya rasa bersalah yang dipendam Budi selama tiga
bulan terakhir. Cara pandang Ina terhadap dirinya yang berbeda dengan hampir
semua orang yang ia kenal membuatnya tak sanggup membendung penyesalan akibat
perbuatan yang dilakukannya.
Perjalanan 23 km dilalui oleh Budi dan Jaka dengan penuh
suka cita. Budi yakin, jika pemohonan maafnya diterima dengan baik oleh Ina,
rasa bersalah itu akan sirna. Motor Jaka telah berhenti. Budi turun dengan
perlahan. Langkah kakinya gontai, jari-jari di tangannya gemetar. Setelah tiga
bulan tak bertemu Ina, hanya kata maaf yang ada di benak Budi saat ini. Tiga
kali pintu rumah Ina diketuknya, ucapan salam juga sudah keluar dari lisannya.
Tak ada jawaban dari penghuni rumah. Budi mengulang ucapan salam dan ketukan
pintu selama beberapa kali. Masih tak ada reaksi apapun. Pupus sudah harapan
Budi untuk kembali bertemu Ina. Paket sembako yang erat digenggamnya kini
hampir terlepas dari tangannya. Sekujur tubuhnya lemas. Senyum dan motivasi
dari Jaka untuk mencoba datang kembali minggu depan tak mampu mengalahkan
kegundahan dalam batin Budi. Kegagalan itu membangkitkan kembali bayangan
kelabu dalam pikirannya.
Budi terbangun. Jam di kamarnya berusaha keras untuk
dilihatnya akibat mata yang susah terbuka setelah dua jam terlelap. Hujan deras
diiringi angin yang berhembus kencang tampak samar dari jendela kamar yang
tertutup oleh lapisan kabut tebal. Tia bertanya mengenai perasaan Budi pasca
terkuburnya impian Budi untuk bertemu Ina. Budi menjawab pertanyaan yang
diajukan lewat aplikasi pesan singkat itu dengan kata-kata yang menenangkan
hatinya. Budi sangat bersyukur bisa dekat dengan banyak orang yang selalu setia
mendukungnya di masa-masa sulit ini. Tangis haru menyeruak di sela-sela kelopak
matanya. Tak ada kata yang cocok untuk menggambarkan rasa terima kasihnya
kepada orang-orang seperti Jaka dan Tia. Entah sampai kapan Budi dihantui oleh
kesedihan yang menikam jiwanya.
Budi was-was. Sudah lewat jam 11 siang. Jaka masih belum
menampakkan diri di depan rumahnya. Kekhawatiran akan terulangnya kejadian
sepekan yang lalu membuat Budi langsung menghubungi Jaka lewat ponselnya. Tak
ada jawaban. Budi semakin panik. Deru mesin motor tiba-tiba terdengar dari
kejauhan. Jaka duduk di atas motor dengan susu kedelai yang sudah hampir habis
di tangan kanannya. Terik matahari tak menghalangi keduanya untuk mengarungi
perjalanan jauh demi kerinduan dan permohonan maaf yang harus segera diucapkan
oleh Budi. Tak seperti sebelumnya, Budi dan Jaka lebih banyak diam. Jaka lelah
karena baru saja pulang dari tempatnya berjualan di pasar sedangkan Budi banyak
memikirkan tentang apa yang harus dikeluarkan oleh lisannya di depan Ina akibat
kerinduan yang terlalu lama ia pendam.
“Assalamu’alaikum.” Budi mengetuk pintu dan mengucap salam
dengan lantang. Seorang pria paruh baya berkulit gelap membukakan pintu.
“Permisi, Pak. Apa benar ini rumahnya Pak Achmad Syarifuddin?” Budi bertanya
sembari mengamati wajah pria itu. Budi teringat salah seorang komedian terkenal
tanah air yang kini aktif di bidang keagamaan. “Iya, benar.” “Mbak Inanya ada,
Pak?” Kiwil. Pria itu memiliki beberapa kemiripan dengan Kiwil sang komedian.
“Ada. Silakan masuk.” Budi berjalan melewati pintu dengan langkah gontai. “Kamu
temannya Ina?” “Bukan, Pak. Saya dulu murid lesnya. Nama saya Budi.” Pria yang
hanya mengenakan kaus dalam itu bergegas menuju ke dalam rumah dan memanggil
Ina. Budi memandangi sekeliling rumah. Suasana yang bersih dan rapi cukup meredakan
rasa gugup dalam hati Budi. “Ada apa kamu ke sini?” Ina duduk sambil memandangi
Budi yang menunduk dan tak berani membalas tatapan dari Ina. Paket sembako
dalam kantong plastik diberikan kepada Ina. Budi masih tak sanggup melihat
wajah perempuan yang sudah tiga bulan tidak dia temui. “Apa ini?” “Program CSR
dari usaha yang aku jalani sekarang.” Budi terpaksa memandang paras Ina yang
sedang membuka paket itu dengan serius. “Aku ingin minta maaf soal apa yang
terjadi tiga bulan yang lalu.” Suara Budi bergetar. Matanya terfokus pada meja
tamu. “Aku tak seharusnya mengungkapkan perasaanku kalau akhirnya itu membuatmu
tak nyaman. Aku merasa bersalah. Aku telah kelewat batas. Saat itu, aku tak
mampu menahan perasaanku sendiri.” Mata Budi berkaca-kaca. Suaranya parau.
Susah payah ia berusaha menahan air mata yang sudah menunggu di tepian kelopak
matanya. “Iya, aku mengerti. Aku tahu siapa yang sebenarnya kau bicarakan waktu
itu. Kamu adalah muridku, Budi. Aku telah menganggapmu seperti adikku sendiri.”
Budi kini lebih tenang. Sorot matanya tertuju pada Ina yang belum selesai
mengungkapkan isi hatinya. “Aku yakin, kamu akan bertemu banyak perempuan lain
yang cocok untukmu di luar sana. Aku tahu perasaanmu itu mungkin baru pertama
kali kau rasakan sepanjang hidupmu.” Budi tersenyum. Senyum pertama di depan
Ina setelah cukup lama ia terpuruk dalam rasa bersalah dan kesedihan. “Aku juga
minta maaf ke kamu, Budi. Aku tak pernah berniat untuk menyinggung perasaanmu
dengan semua yang aku lakukan itu.” Budi mengangguk. Mulutnya ingin mengatakan
sesuatu, namun tertahan oleh pikirannya yang masih mengenang pengalaman indah
ketika ia tertawa dan menceritakan banyak hal dengan Ina. “Mengapa kau
tiba-tiba terbuka padaku? Menceritakan banyak hal yang tidak banyak kamu
ceritakan kepada orang lain?” Budi bertanya
disertai harapan yang membumbung tinggi untuk menemukan jawaban yang memuaskan
hatinya. “Karena kamu adalah pendengar yang baik. Kamu orang yang enak untuk
diajak bicara. Aku juga sudah cukup lama mengenal dirimu. Aku juga ingin kamu
belajar dari apa yang telah aku alami.” Jawaban Ina sudah cukup memuaskan hati
Budi. Setelah percakapan itu, banyak hal yang dibicarakan oleh Budi kepada Ina.
Budi sengaja mencari-cari bahan pembicaraan demi rasa rindu yang membuncah
dalam hatinya. Kesempatan itu mungkin terakhir kalinya Budi akan bertemu Ina. Budi
tak ingin menyia-nyiakannya dengan pertemuan yang berlangsung terlampau singkat.
Malang, Februari 2018.
Terima kasih kepada MRAA, SK, RWR, FD, FPM, HAF dan seluruh pihak yang terlibat.
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.