Thursday 19 January 2017

  Indonesia seakan diguncang oleh Cyclops bertubuh naga putih yang biasa keluar di iklan susu ketika masalah intoleransi semakin banyak dibicarakan. Negara berpenduduk lebih dari dua ratus juta jiwa ini seolah terpecah menjadi dua bagian. Bermula dari ucapan seorang gubernur yang dianggap menodai agama, problematika yang terjadi sangat cepat meluas ke berbagai aspek lainnya. Pihak satu menyerang pihak lainnya. Ulama lawan ulama, politisi lawan politisi, anak presiden melawan anak presiden, hingga ormas vs ormas. Ibu pertiwi seperti berada di tengah ring tinju yang diisi oleh petinju senior macam Manny Pacquiao, Chris John, Mike Tyson, dan Vladimir Klitchsko.

  Jika lidah memiliki tulang, mungkin semua orang akan berbicara secadel terdakwa penodaan agama. Lidah yang tak bertulang memudahkan manusia untuk makan, menjilat, mengambil koin dari kelapa saat lomba 17 Agustus, sampai berbicara. Secara biologis, lidah tidak bisa keseleo. Karena sebab itulah, hampir tidak ada manusia yang memilih Counterpain atau Viostin DS sebagai makanan favoritnya. Pijat refleksi khusus lidah juga hampir tidak pernah ditemui. Manusia malah lebih suka menyakiti lidahnya sendiri dengan mengonsumsi makanan super pedas yang membuat mata merah, keringat mengucur deras dan perut mual hingga mengakibatkan jomblo semakin merasa galau.  Keseleo lidah yang diartikan sebagai “salah ucap” memang amat membahayakan. Apalagi jika apa yang dikatakan merupakan bentuk kesengajaan dan sudah dilakukan berulang kali hingga mantan pegawai Fitsa Hats geram. Mengontrol ucapan terbukti amat susah. Lebih susah dari mengontrol berat badan ibu-ibu yang kelebihan berat sampai sering lupa menyalakan lampu sign saat mengendarai motor.




  Apa yang menyebabkan seorang Gubernur dengan bodohnya mengeluarkan kata-kata berisi penodaan agama yang tidak dia anut? Jawabannya adalah kecerobohan masyarakat yang termakan pencitraan sekumpulan politisi oportunis berpakaian kotak-kotak. Dulu, ketika seorang pria asal Solo yang wajahnya lebih mirip pria Tiongkok terpilih sebagai presiden dengan selisih delapan juta suara, rakyat Indonesia seakan mendapat harapan baru. Harapan yang belum terwujud selama sepuluh tahun kepemimpinan presiden sebelumnya. Banyak yang yakin negara kepulauan terbesar di Dunia ini dapat mencapai kejayaan yang pernah diraih oleh pahlawan-pahlawan nasional terdahulu. Kini, setelah negeri panda menyerang, harapan itu pupus. Sayangnya, Indonesia tidak memiliki Avatar yang dapat mempersatukan seluruh negeri dengan kesaktiannya. Kekayaan alam yang dikeruk habis-habisan oleh asing dan tenaga kerja bermata mini yang membanjiri Negara berusia 71 tahun ini membuat jutaan rakyat gigit jari akibat tingkat pengangguran di luar batas kewajaran. Sang pemimpin negara malah sibuk memamerkan jaket bomber, payung cantik, sampai sarung murah yang hanya ditampilkan untuk pencitraan dirinya.

  Di tengah kenaikan tarif listrik, harga cabai, harga bahan bakar dan biaya pengurusan STNK yang melambung tinggi, Negara yang berulang tahun setiap tanggal 17 Agustus ini masih mempunyai harapan pada sosok pembela rakyat sejati. Kelompok yang dicitrakan buruk oleh sebagian besar media massa dan relawan media sosial salah satu cagub DKI Jakarta. Mereka yang sering memakai jubah putih dan bersorban. Sebagian besar dari mereka dituding melakukan praktek intoleransi. Salah satu dari manusia-manusia berniat baik itu bahkan dihujat akibat salah penulisan yang tidak dia lakukan. Dengan nama Front Pembela Islam (FPI), rakyat kecil ditampung aspirasinya dan diberi bantuan. Warga yang ingin memperoleh SIM dilatihnya agar sanggup melewati ujian. Banjir bandang di Garut, gempa bumi di Pidie Jaya dan masih banyak korban bencana alam di seluruh Indonesia diberi santunan oleh ormas tersebut. Semua kegiatan positif FPI hampir tidak pernah diekspos media massa. Karena tujuan mereka bukan pencitraan.

Kini, setelah FPI mengadakan pelatihan bela negara bersama Kodim Lebak, sang Dandim malah dicopot atas alasan kurangnya koordinasi. Padahal, sangat jelas Pangdam Siliwangi menyebut kata-kata “ormas yang tidak pro Pancasila dan NKRI” sungguh sebuah alasan yang aneh. Habib Rizieq sebagai imam besar FPI juga dikriminalisasi atas dugaan penghinaan terhadap Pancasila. FPI yang berniat membela negara malah terlalu banyak disalahkan. Jika terjadi aksi terorisme lagi, siapa yang akan disalahkan? Membela negara saja dianggap salah. Rezim masa kini mirip seperti seorang laki-laki yang dituduh selingkuh oleh temannya, namun sang pacar membela pria tersebut. Meski sudah dibela, lelaki itu malah berpaling dari pacarnya dan melanjutkan perselingkuhan tersebut. Ruwet, bukan?


  FPI bukan hanya Front Pembela Islam. Mereka telah melakukan kegiatan yang tidak hanya membela Islam, namun juga membela Indonesia. Berdasarkan semua pemaparan tentang FPI di atas, saya rasa, FPI adalah Front Pembela Indonesia. Karena mereka jauh lebih mencintai Indonesia daripada nenek-nenek bertahi lalat yang sering berkoar-koar tentang nasionalisme namun di belakang dia menjadi boneka para konglomerat. Semoga Xi Jinping segera melakukan introspeksi diri agar tidak ikut mencampuri urusan negara lain.

  FPI akan dikenang sebagai pahlawan. Setidaknya bagi diri saya, seorang jomblo yang terus berusaha mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia walaupun tanah air saya itu terlalu banyak dihujani produk-produk made in PRC*.

“Jika ingin mendapat penghargaan, jangan menjadi orang yang banyak membantu rakyat kecil. Jadilah polisi yang diam ketika dicakar oleh ibu-ibu pemarah yang tidak ingin ditilang, atau jadilah pemimpin yang mampu mengerek harga cabai hingga tiga kali lipat.”
Coqi Basil, jomblo peduli bangsa.



*PRC adalah nama lain dari Republik Rakyat Tiongkok

0 comments:

Post a Comment