Indonesia seakan diguncang oleh Cyclops bertubuh naga putih
yang biasa keluar di iklan susu ketika masalah intoleransi semakin banyak
dibicarakan. Negara berpenduduk lebih dari dua ratus juta jiwa ini seolah
terpecah menjadi dua bagian. Bermula dari ucapan seorang gubernur yang dianggap
menodai agama, problematika yang terjadi sangat cepat meluas ke berbagai aspek
lainnya. Pihak satu menyerang pihak lainnya. Ulama lawan ulama, politisi lawan
politisi, anak presiden melawan anak presiden, hingga ormas vs ormas. Ibu
pertiwi seperti berada di tengah ring tinju yang diisi oleh petinju senior
macam Manny Pacquiao, Chris John, Mike Tyson, dan Vladimir Klitchsko.
Jika lidah memiliki tulang, mungkin semua orang akan
berbicara secadel terdakwa penodaan agama. Lidah yang tak bertulang memudahkan
manusia untuk makan, menjilat, mengambil koin dari kelapa saat lomba 17
Agustus, sampai berbicara. Secara biologis, lidah tidak bisa keseleo. Karena
sebab itulah, hampir tidak ada manusia yang memilih Counterpain atau Viostin DS sebagai
makanan favoritnya. Pijat refleksi khusus lidah juga hampir tidak pernah
ditemui. Manusia malah lebih suka menyakiti lidahnya sendiri dengan mengonsumsi
makanan super pedas yang membuat mata merah, keringat mengucur deras dan perut
mual hingga mengakibatkan jomblo semakin merasa galau. Keseleo lidah yang diartikan sebagai “salah
ucap” memang amat membahayakan. Apalagi jika apa yang dikatakan merupakan
bentuk kesengajaan dan sudah dilakukan berulang kali hingga mantan pegawai
Fitsa Hats geram. Mengontrol ucapan terbukti amat susah. Lebih susah dari
mengontrol berat badan ibu-ibu yang kelebihan berat sampai sering lupa
menyalakan lampu sign saat
mengendarai motor.
Apa yang menyebabkan seorang Gubernur dengan bodohnya
mengeluarkan kata-kata berisi penodaan agama yang tidak dia anut? Jawabannya
adalah kecerobohan masyarakat yang termakan pencitraan sekumpulan politisi
oportunis berpakaian kotak-kotak. Dulu, ketika seorang pria asal Solo yang
wajahnya lebih mirip pria Tiongkok terpilih sebagai presiden dengan selisih
delapan juta suara, rakyat Indonesia seakan mendapat harapan baru. Harapan yang
belum terwujud selama sepuluh tahun kepemimpinan presiden sebelumnya. Banyak
yang yakin negara kepulauan terbesar di Dunia ini dapat mencapai kejayaan yang
pernah diraih oleh pahlawan-pahlawan nasional terdahulu. Kini, setelah negeri
panda menyerang, harapan itu pupus. Sayangnya, Indonesia tidak memiliki Avatar
yang dapat mempersatukan seluruh negeri dengan kesaktiannya. Kekayaan alam yang
dikeruk habis-habisan oleh asing dan tenaga kerja bermata mini yang membanjiri
Negara berusia 71 tahun ini membuat jutaan rakyat gigit jari akibat tingkat
pengangguran di luar batas kewajaran. Sang pemimpin negara malah sibuk
memamerkan jaket bomber, payung cantik, sampai sarung murah yang hanya
ditampilkan untuk pencitraan dirinya.
Di tengah kenaikan tarif listrik, harga cabai, harga bahan
bakar dan biaya pengurusan STNK yang melambung tinggi, Negara yang berulang
tahun setiap tanggal 17 Agustus ini masih mempunyai harapan pada sosok pembela
rakyat sejati. Kelompok yang dicitrakan buruk oleh sebagian besar media massa
dan relawan media sosial salah satu cagub DKI Jakarta. Mereka yang sering
memakai jubah putih dan bersorban. Sebagian besar dari mereka dituding
melakukan praktek intoleransi. Salah satu dari manusia-manusia berniat baik itu
bahkan dihujat akibat salah penulisan yang tidak dia lakukan. Dengan nama Front
Pembela Islam (FPI), rakyat kecil ditampung aspirasinya dan diberi bantuan.
Warga yang ingin memperoleh SIM dilatihnya agar sanggup melewati ujian. Banjir
bandang di Garut, gempa bumi di Pidie Jaya dan masih banyak korban bencana alam
di seluruh Indonesia diberi santunan oleh ormas tersebut. Semua kegiatan
positif FPI hampir tidak pernah diekspos media massa. Karena tujuan mereka
bukan pencitraan.
Kini, setelah FPI mengadakan pelatihan bela negara bersama
Kodim Lebak, sang Dandim malah dicopot atas alasan kurangnya koordinasi.
Padahal, sangat jelas Pangdam Siliwangi menyebut kata-kata “ormas yang tidak
pro Pancasila dan NKRI” sungguh sebuah alasan yang aneh. Habib Rizieq sebagai
imam besar FPI juga dikriminalisasi atas dugaan penghinaan terhadap Pancasila.
FPI yang berniat membela negara malah terlalu banyak disalahkan. Jika terjadi
aksi terorisme lagi, siapa yang akan disalahkan? Membela negara saja dianggap
salah. Rezim masa kini mirip seperti seorang laki-laki yang dituduh selingkuh
oleh temannya, namun sang pacar membela pria tersebut. Meski sudah dibela,
lelaki itu malah berpaling dari pacarnya dan melanjutkan perselingkuhan
tersebut. Ruwet, bukan?
FPI bukan hanya Front Pembela Islam. Mereka telah melakukan
kegiatan yang tidak hanya membela Islam, namun juga membela Indonesia.
Berdasarkan semua pemaparan tentang FPI di atas, saya rasa, FPI adalah Front
Pembela Indonesia. Karena mereka jauh lebih mencintai Indonesia daripada
nenek-nenek bertahi lalat yang sering berkoar-koar tentang nasionalisme namun
di belakang dia menjadi boneka para konglomerat. Semoga Xi Jinping segera
melakukan introspeksi diri agar tidak ikut mencampuri urusan negara lain.
FPI akan dikenang sebagai pahlawan. Setidaknya bagi diri
saya, seorang jomblo yang terus berusaha mencintai Negara Kesatuan Republik
Indonesia walaupun tanah air saya itu terlalu banyak dihujani produk-produk made in PRC*.
“Jika ingin mendapat penghargaan, jangan menjadi orang yang banyak
membantu rakyat kecil. Jadilah polisi yang diam ketika dicakar oleh ibu-ibu
pemarah yang tidak ingin ditilang, atau jadilah pemimpin yang mampu mengerek
harga cabai hingga tiga kali lipat.”
Coqi Basil, jomblo peduli bangsa.
*PRC adalah
nama lain dari Republik Rakyat Tiongkok
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.