Memori saya memang agak samar-samar, tetapi saya agak mengingat dulu duduk manis di depan TV menyaksikan film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer.
Umur saya 6 tahun ketika reformasi meledak, yang setelah kerusuhan
besar-besaran berhasil menurunkan presiden Soeharto setelah 30 tahun
lebih memimpin Indonesia. Salah satu 'signature' zaman Orde Baru
memang adalah kewajiban untuk semua stasiun TV memutar film tersebut
setiap tahunnya, untuk memperingati salah satu peristiwa berserajah (dan
berdarah) tersebut, serta menjadi propaganda untuk mendoktrin
masyarakat bahwa PKI dan komunis adalah dalang dari tragedi tersebut
sekaligus musuh negara yang kejam dan berdarah dingin.
Peristiwa tersebut tidak hanya menjadi awal periode kekuasaan Soeharto,
tetapi juga menjadi pencetus beberapa pembunuhan massal yang terjadi di
beberapa lokasi di Indonesia, yang semua dilakukan atas dasar perlawanan
terhadap komunis dan PKI. Salah satunya terjadi di Medan, Sumatera
Utara. Dari sejumlah oknum-oknum dibalik pembantaian komunis tersebut
(entah yang benar komunis, atau yang cuman dicurigai saja), salah
satunya adalah Anwar Congo. Anwar Congo dahulu dikenal sebagai
preman yang disegani oleh semua kalangan. Ia menghabiskan setiap malam
menjadi tukang catut karcis cabutan di sebuah bioskop di Medan. Selain
reputasinya sebagai seorang preman, Anwar juga dikenal sebagai salah
satu 'pentolan' dalam membantai para komunis tahun 1965 silam. Seorang
filmmaker Amerika yang menetap di London, Joshua Oppenheimer,
berniat untuk mendokumentasikan kehidupan Anwar serta rekoleksinya
terhadap aktivitas yang ia lakukan dahulu. Ia pun meminta Anwar dan
beberapa temannya untuk bercerita tentang pengalaman mereka tersebut,
bahkan menawarkan mereka untuk membuatnya menjadi sebuah film dengan
style dan genre yang sesuai dengan keinginan mereka. Dengan dalih
membuat film adaptasi kisah nyata, lahirlah The Act of Killing, atau Jagal
dalam judul bahasa Indonesia-nya, yang menangkap para pelaku pembunuhan
masal ini menikmati statusnya sebagai pahlawan dan preman secara
bebas.
Menyaksikan film ini memberikan sebuah perasaan yang campur aduk.
Pertama, jelas kaget dan miris bagaimana Anwar & co bisa dengan
begitu kasual dan terlihat tak berdosa menceritakan pengalaman mereka
beroperasi disini. Bagaimana Anwar membawa para korban ke sebuah atap
gedung yang terlantar, bagaimana mereka disiksa disitu, bahkan ia
memberikan tips efektif untuk membunuh tanpa harus memuncratkan darah
kemana-mana. Tak hanya itu, dalam sebuah obrolan ringan beberapa
anteknya berbicara mengenai 'asiknya' membakar seluruh desa, melakukan
pelecehan seksual hingga pemerkosaan terhadap korban dibawah umur.
Lucunya (?), mereka menceritakan kisah-kisah tersebut bagai sebuah
anekdot kepahlawanan yang membanggakan, tak jarang pula yang berujung
dengan tawa. Bahkan dalam satu adegan, Anwar meminta cucu-nya untuk
melihat bagaimana sang kakek dulu beraksi. Beberapa lokasi shooting yang mereka pakai pun juga seakan menjadi sebuah event
tersendiri untuk para keluarga dan tetangga dapat menonton. Dalam
membuat 'film adaptasi' tersebut, tak sedikit inspirasi yang mereka
ambil dari film-film Hollywood. Mengingat bahwa Anwar dkk adalah mantan
tukang karcis bioskop, mereka sangat menggemari film-film gangster dari
Barat tersebut. Bahkan salah satu alasan yang mereka buat untuk membenci
komunis adalah bahwa PKI melarang impornya film-film Amerika ke Medan
pada saat itu. Anwar sendiri menyatakan bahwa film-film mafia tersebut
yang mengajarkannya untuk membunuh.
Kita tidak hanya dicekoki dengan curhatan para tukang jagal, tetapi dari
pemimpin organisasi paramiliter hingga petinggi percetakan koran yang
dahulu juga ikut menambahkan api kebencian masyarakat kepada kaum
komunis lewat tulisan-tulisan yang sengaja di-exaggerate.
Bertahun-tahun lewat, nyatanya aksi yang mereka lakukan tidak pernah
dibawa ke pengadilan. Bahkan salah satu dari mereka malah menantang PBB
untuk mengadili mereka. Premanisme yang dahulu sudah berkuasa juga
ternyata masih terjadi di kota tersebut. Dapat dilihat dari aksi palak
yang terang-terangan dilakukan kepada pemiliki toko beretnis Cina
disana, serta selipan aksi korupsi yang dilakukan oleh para politisi.
Oppenheimer sendiri mengatakan bahwa niat awalnya adalah untuk membuat
film tentang testimoni para keluarga korban pembantaian, tetapi desakan
dari pihak authority disana lah yang merubah fokus Oppenheimer terhadap preman-preman yang berkuasa disana. 'Preman' secara kasar disadur dari 'free man',
orang bebas. Kata-kata tersebut entah mengapa berulang kali diucapkan
oleh beberapa tokoh dalam film ini, tak terkecuali 'penampilan' khusus
dari mantan RI-2, Jusuf Kalla. Pada akhirnya anggapan tersebut
menjadi salah satu justifikasi yang mereka gunakan pula tentang
bagaimana mereka dahulu, pemuda-pemuda, hanyalah ingin menjadi
orang-orang yang bebas. Entah bebas dari segala macam hukum, dan aturan
serta melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan.
Tapi saya pun berfikir lagi. Apa yang mereka lakukan adalah
semerta-merta sebuah perintah dari atasan mereka. Mereka di-doktrin
untuk menumpas habis anggota komunis atau orang-orang yang berhubungan
dengan komunis. Mungkin hal ini dapat menjadi salah satu alasan juga
untuk menjustifikasi aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan. Yang
menjadi pertanyaan adalah apakah mereka menyesal melakukan hal-hal
tersebut. Apakah, at the very least, mereka sadar apa yang mereka
perbuat, terlepas dari perintah atau tidak, adalah sebuah kejahatan?
Setelah sepanjang film kita menyaksikan bagaimana para tukang jagal ini
bercerita dengan bangganya, terselip pula beberapa curhat-colongan di
dalam obrolan mereka. Setelah dilanda mimpi buruk beberapa malam
terakhir, Anwar Congo pun akhirnya mulai agak sadar atas apa yang ia
perbuat, setelah ia sendiri berperan sebagai salah satu korban yang
hendak dihabisi. Mungkin beberapa dari para jagal tersebut bisa saja
mencari alasan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa bersalah mereka.
Tetapi pada akhirnya pun mereka akan sadar ketika aktor amatiran anak
kecil yang tak bisa berhenti menangis atau seorang ibu yang tiba-tiba
pingsan setelah memerankan korban pembantaian hanyalah sebuah reka
ulang. Apa yang mereka lakukan bertahun-tahun yang lalu bukanlah
rekayasa dan jelas jauh lebih kejam.
Sebelum saya menonton film ini, mengingat bagaimana film G30S/PKI berubah menjadi film propaganda, membuat saya curiga bagaimana jika Joshua Oppenheimer akan merubah The Act of Killing menjadi hal yang serupa. Dengan durasi hampir mencapai 2 jam (sudah di-cut, sebelumnya 2 setengah jam), The Act of Killing
bagi saya benar-benar menjadi sebuah eye-opener yang mencengangkan.
Semua yang dipaparkan disini datang langsung dari mulut para pelaku.
Apakah semua cerita tersebut fakta, hanya mereka yang tahu. Oppenheimer
hanya menyediakan media dimana mereka dapat menceritakan kembali, dengan
kebanggan, hal-hal apa yang mereka lakukan atas dasar nasionalime atau
sekedar inner premanisme. Oppenheimer memiliki banyak isu yang hal yang bisa di-tackle disini (humanism, justice, corruption, moral, bahkan effect of movie brutality, etc), walaupun terlihat agak kewalahan dan agak scattered di beberapa bagian, tetapi hasil akhirnya sudah cukup merangkum beberapa isu yang poignant. Provocative and unsettling, The Act of Killing adalah sebuah dirty revelation yang akan menjadi tamparan bagi negri ini.
Sumber : http://vampibots.blogspot.com/2013/06/review-act-of-killing-2012_7.html
________________________________________________________________________________
________________________________________________________________________________
0 comments:
Post a Comment