Di tahun 2015 ini, saya semakin sering mendengar kata
“unjuk rasa” Ketika saya membaca Koran, ada unjuk rasa, ketika menonton TV, ada
unjuk rasa, bahkan ketika unjuk rasa ada unjuk rasa. Namun, masyarakat sering
salah memaknai kata “unjuk rasa” lantas, apa arti sesungguhnya dari unjuk rasa?
Silahkan cari di KBIB (Kamus Bahasa Indonesia Banget).
Unjuk rasa, menurut salah satu ilmuwan yang tidak berilmu
bernama Coqi Basil, adalah cara untuk mengekspresikan diri. Jadi, unjuk rasa
tidak harus membakar ban, membawa poster, membawa spanduk, membawa baliho,
papan nama, neon box, dan lain sebagainya. Unjuk rasa bisa dilakukan dengan
curhat ke sahabat, atau keluarga, atau mungkin menulis puisi sambil membakar
ban. Unjuk rasa juga tidak harus beramai-ramai dan membawa alat-alat berat
seperti bambu, kayu, dan batu. Karena unjuk rasa bisa dilakukan sendirian, di
dalam kamar mandi, dan membawa alat-alat ringan seperti pasta gigi, sikat WC,
sabun, shampoo, dan sambil bernyanyi-nyanyi.
Unjuk rasa sering dikonotasikan sebagai aksi demonstrasi
massa besar-besaran. Padahal, unjuk rasa belum tentu mengerahkan massa
besar-besaran. Ada demonstrasi yang massanya kecil-kecilan. Seperti,
demonstrasi kutu, semut, bahkan upil. Kecuali upil saya. Karena upil saya
besar-besar.
Kedua Foto di Atas Adalah Contoh Unjuk Rasa. Tapi kalau saya pikir-pikir, pendapat pengunjuk rasa di atas ada benarnya.
Demo, nama lain dari unjuk rasa, juga memiliki arti yang
sangat luas. Lebih luas dari rumah Ra Fuad yang orang Madura itu. Demo, selain
unjuk rasa, biasa digunakan untuk kegiatan rumah tangga seperti memasak,
mencuci, hingga mencuci masakan. Demo memasak, seringkali diadakan ketika ada
arisan ibu-ibu. Akan tetapi, ibu saya jarang sekali tertarik dengan demo
memasak. Karena ibu saya tidak bisa memasak. Merebus mie saja mienya jadi
gosong.
Di Kota tempat saya tinggal, akhir-akhir ini banyak unjuk
rasa terjadi. Mulai dari unjuk rasa kenaikan BBM, unjuk rasa sopir angkot,
hingga unjuk rasa BBM yang dinaiki sopir angkot. Entah mengapa, di Kota Malang
sering terjadi unjuk rasa. Mungkin orang Malang hobi melakukan unjuk rasa. Atau
mungkin di Kota Malang kurang tempat rekreasi, sehingga masyarakat berekreasi
dengan melakukan unjuk rasa.
Sekarang, semua orang, dari anak-anak sampai orang
dewasa, dari orang waras sampai orang gila, sudah mengenal apa itu “unjuk rasa”
bahkan, adik saya yang baru kelas satu SD sudah melakukan unjuk rasa. Ia minta
uang sakunya ditambah 20%. Adik saya melakukan unjuk rasa dengan cara mogok
makan. Adik saya tidak mau makan apapun kecuali es krim. Akhirnya, setelah
negosiasi panjang antara. Pihak penuntut dan tertuntut, adik saya tidak lagi
melakukan aksi mogok makan setelah uang sakunya dinaikkan 10%.
0 comments:
Post a Comment