Kalau. Kata itu Selalu menghantui saya. Di manapun saya
berada, kata “Kalau” selalu mengikuti. Entah itu di dalam angkot, di kamar
mandi, bahkan di angkot yang ada kamar mandinya. Selalu saja kata “Kalau”
menghantui diri saya. “Kalau saya meninggal, apakah saya akan masuk surga?”
“Kalau saya berhutang ke warungnya Cak No, apakah saya bisa melunasi hutang
saya?” “Kalau istrinya Cak No melahirkan, apakah Cak No akan menagih hutang
saya?” “Kalau Cak No meninggal, apakah anaknya akan menagih hutang saya?”
“Kalau anaknya Cak No meninggal, apakah anaknya anaknya Cak No akan menagih
hutang saya?” “Kalau saya meninggal, apakah saya tetap membawa hutang yang
belum saya bayar ke Cak No?” “Apakah Cak No akan menagih hutang saya ketika
saya sudah berada di akhirat?” Dan pada akhirnya, saya tidak jadi berhutang ke
warungnya Cak No. Saya takut Cak No akan menagih hutang saya di akhirat nanti.
Kata “kalau” yang masih sering menghantui saya adalah:
“Kalau saya ganteng, apa yang akan terjadi?” Dan, ribuan bahkan jutaan jawaban
pasti akan muncul. Mungkin, beberapa jawaban yang muncul bisa jadi seperti ini:
“Kalau saya ganteng, saya bisa jadi terkenal.” “Kalau saya ganteng, saya bisa
jadi seorang cover boy.” “Kalau saya
ganteng, saya tidak akan menjomblo selama enam belas tahun seperti sekarang.” “Kalau
saya ganteng, saya pasti akan menggantikan Ariel sebagai bintang iklan produk
pembersih wajah” “Kalau saya ganteng, saya pasti akan bermain dalam salah satu
sinetron paling menjijikkan di dunia, Ganteng-Ganteng
Serigala.” “Kalau saya ganteng, saya akan dikerubuti cewek-cewek seperti
tukang ojek berebut pelanggan cantik.” “Kalau saya ganteng, saya bisa jadi
seorang pemain film terkenal, dan setiap hari rumah saya bakal diintai oleh paparazzi.” “Kalau saya ganteng, pasti
banyak cabe-cabean yang kesengsem dengan wajah saya.” “Kalau saya ganteng,
pasti saya tidak pernah dilahirkan di muka bumi. Karena memang kodrat saya
menjadi seorang yang tidak ganteng.”
Kata “kalau” yang juga pernah keluar di pikiran saya
adalah: “Kalau saya jadi anaknya Ahmad Dhani.” Dan jawaban yang keluar akan
seperti ini: “Kalau saya jadi anaknya Ahmad Dhani, Ahmad Dhani pasti langsung
menelantarkan saya, atau bahkan membuang saya ke selokan. Karena, Ahmad Dhani
pasti tidak ingin punya anak seperti saya.” Alasannya: “Masak bapaknya punya
wajah ganteng, tapi anaknya wajahnya semrawut begini.” Ada pula jawaban lain: “Kalau
saya jadi anaknya Ahmad Dhani, saya pasti sudah membunuh tujuh orang di jalan
tol.” “Kalau saya jadi anaknya Ahmad Dhani, saya pasti bisa bermain film dengan
Tatjana Saphira yang cantik itu.” “Kalau saya jadi anaknya Ahmad Dhani, apalagi
anak pertama, pasti wajah saya ganteng tapi kelihatan bego.” “Kalau saya jadi
anaknya Ahmad Dhani yang nomor satu, pacar saya pasti seorang penyanyi cantik
tapi juga bego. Namanya, Ariel Tatum.”
Sebenarnya masih banyak kata “kalau” dalam pikiran saya.
Tetapi, kalau ditulis semua, akan jadi berlembar-lembar. Bahkan, bisa lebih
tebal dari kamus Indonesia-Inggris Inggris-Indonesia yang disusun oleh John M.
Echols dan Hassan Shadly. Tapi, saya akan menambahkan sedikit saja kalimat
“kalau” di paragraf terakhir ini. Antara lain: “Kalau saya berasal dan
berdomisili di AS, keluarga saya orang AS kulit putih, kulit saya putih,
tinggi, ganteng, saya pasti bisa jadi pacarnya Nadine Kaiser, anaknya menteri
Susi yang cantik itu.” “Kalau saya jadi menantunya menteri Susi, saya bisa
memiliki kesempatan untuk meneruskan usaha perikanan dan penerbangannya, lalu
saya bisa jadi kaya raya dari kedua usaha tersebut. Dan, setelah jadi kaya,
saya bisa menikah lagi.” Sampai di sini saja saya berandai-andai. Karena saya
sebenarnya tidak mau jadi menantunya menteri Susi. Saya tidak ingin anak saya
nanti memiliki seorang nenek perokok yang punya tattoo di kaki dan kehidupan
rumah tangganya berantakan.
ini Nadine Kaiser
Dan, saya akan memberikan kalimat “kalau” terakhir dalam
tulisan ini: “Kalau tulisan ini selesai dibuat, apakah ada orang yang mau
membacanya?”
0 comments:
Post a Comment