Kata orang, zaman sekarang adalah zaman edan. Oleh karena
itu, terciptalah anak-anak edan atau bahasa halusnya gila. Contohnya, saya.
Saya sebenarnya tidak menanggap diri saya edan. Hanya saja, sebagian kecil orang-orang di sekitar saya
menganggap saya sedikit edan. Salah satunya karena saya suka mengupil. Akan
tetapi, saya dianggap edan bukan karena mengupil, tetapi karena sering menaruh
upil saya di sembarang tempat. Selain menaruh, kadang upilnya juga dimakan.
Karena, saya memiliki prinsip, lebih baik makan upil sendiri daripada makan
upil orang lain.
Selain saya, anak-anak edan di bumi ini sebenarnya sangat
banyak. Bahkan banyak yang lebih edan dari saya. Contohnya, saya pernah melihat
di televisi, ada seorang anak yang membawa mobil ke jalan tol dan menabrak
mobil-mobil yang melintas hingga ada tujuh (atau delapan?) orang tewas karena
kecelakaan tersebut. Anda pasti tahu anak edan yang saya maksud.
Saya percaya, di dunia ini ada formula pasti mengenai
cara “menciptakan” seekor atau seorang anak edan. Salah satu hal yang termasuk
dalam formula tersebut adalah kasih sayang orang tua yang kurang. Karena, anak
yang tidak dididik dengan kasih sayang akan menjadi anak yang tidak memiliki
kasih sayang karena kasih sayang tidak ada dalam dirinya. Dan, kalaupun ada,
kasih sayangnya bukan kasih sayang yang sayang. Bisa jadi itu kasih sayang yang
bukan kasih sayang. Selain tidak memiliki kasih sayang, anak yang tidak dididik
dengan kasih sayang hidupnya akan berantakan, serampangan, tidak teratur, dan
lain-lain. Anak seperti itu akan menjadi sangat edan. Dan di dunia, banyak anak
yang merasa tidak disayangi orang tuanya. Mungkin, sebenarnya orang tuanya
sudah berusaha menyayangi anak-anak seperti itu tapi sang anak salah memahami
kasih sayang orang tuanya karena si anak berbicara dengan “bahasa” cinta yang
berbeda. Untuk pengetahuan lebih lanjut tentang “bahasa” cinta, Anda bisa
membaca buku “The Five Love Languages” karya Gary Chapman.
Salah satu anak edan yang berhasil saya foto
Setelah melihat paragraf di atas, saya jadi merasa
tulisan saya menjadi terlalu intelek, bahkan sok intelek. Padahal, saya bukan
orang yang cerdas. Pakai celana dalam saja saya masih sering terbalik. Maafkan
saya kalau tulisan saya ini terlihat sok intelek.
Hal yang kedua dalam formula membuat anak menjadi edan
adalah keterpaksaan. Dan semua anak pernah mengalami hal ini. Karena, semua
orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Padahal, menurut saya, yang terbaik
bagi orang tua belum tentu yang terbaik untuk anak. Anak-anak sering dipaksa
sekolah, mengerjakan PR, bahkan dipaksa mengerjakan PR di sekolah. Aneh.
Bahkan, saya pernah mendengar cerita (entah benar atau salah) tentang anak usia
enam tahun yang kebanyakan les hingga masuk rumah sakit jiwa. Bayangkan, betapa
tersiksanya anak kecil yang masih kecil itu. Saya yakin, sang anak merasa
terpaksa untuk ikut les sehingga jiwanya berontak dan marah kepada keterpaksaan
yang diberikan oleh orang tuanya. Malang benar si anak. Meski begitu, saya
tidak pernah mendengar orang tua yang masuk rumah sakit jiwa karena dipaksa
oleh anaknya untuk ikut les. Yang pernah saya dengar, ada orang tua yang masuk
rumah sakit jiwa karena biaya les yang mencekik.
Ketika saya selesai menulis paragraf di atas, saya merasa
tulisan saya menjadi tulisan sok tahu. Maafkan saya jika Anda merasa tulisan
saya mengandung unsur ke-sok tahu-an. Saya menulis tulisan ini karena saya
ingin menulis tulisan ini. Karena, jika saya tidak menulis tulisan ini, maka
tulisan ini tidak pernah saya tulis.
Selain itu, saya menulis tulisan ini sebagai bentuk
penyuaraan seorang anak. Karena selama ini, yang saya lihat, jarang ada anak
yang menyuarakan suaranya lewat tulisan. Anggap saja tulisan ini sebagai
artikel parenting yang ditulis oleh
seorang anak. Karena saya bosan, setiap artikel parenting yang saya baca, selalu ditulis oleh orang tua, bukan
anak. Jika orang tua saja yang menulis artikel parenting, kapan anak bisa menulis artikel parenting?
0 comments:
Post a Comment