Friday 18 April 2014

Sudah 10 tahun saya tinggal di kota yang penuh dengan kemalangan bernama Malang. Sesuai namanya, Kota Malang memang patut dikasihani karena kondisinya yang memang serba kasihan hingga saya sebagai orang melas juga ikut mengasihani Malang.

  Kota Malang lahir 100 tahun yang lalu. Waktu itu, nenek saya belum lahir. Saya tidak bisa membayangkan jika nenek saya bisa mencapai usia 100 tahun. Pasti nenek saya amat sangat cerewet. Karena, di usia 75 tahun saja, nenek saya jauh lebih cerewet dari adik saya yang terlahir dalam keadaan cerewet.

  Malang yang sekarang beda dengan Malang yang dulu. Banyak orang yang beranggapan seperti itu. Menurut saya, anggapan itu benar. Memang, Kota Malang tidak seperti dulu. Salah satunya adalah soal usia Kota Malang. Dulu, waktu tahun 2004, Kota Malang berusia 90 tahun. Tiba-tiba, pada tahun 2014 Kota Malang sudah berusia 100 tahun.  Selain itu, perbedaan mencolok juga terdapat pada penggunaan teknologi. Dulu, tahun 2003 orang masih belum ada yang memakai  Windows 8 di komputer, karena memang belum ada. Sekarang, jangankan di komputer, Windows 8 untuk telepon umum mungkin sudah ada.
  Ada yang menyebut Malang sebagai kota bunga. Salah satu faktor pendukung dari julukan “kota bunga” adalah karena banyaknya taman di Malang. Pada Kenyataanya, taman di Malang memang cukup banyak  tetapi tidak terawat. Salah satu bukti tidak terawatnya taman adalah banyaknya waria yang bebas berkeliaran di beberapa taman di Malang. Selain waria, juga banyak PKL yang dengan beraninya mangkal di sudut-sudut taman. Bahkan, ada juga waria yang jadi PKL. Jujur, saya enek melihat PKL waria. Saya pernah beli cilok yang dijual oleh PKL “jadi-jadian” yang mangkal di alun-alun. Ketika menunggu cilok dibungkus, paha saya dicolek-colek oleh si waria. Saya pun balas mencolek paha si waria. Lalu, tangan saya juga dipegang dengan mesra ketika saya mau mengambil bungkusan cilok yang masih hangat. Saya juga mengelus tangan waria itu dengan sangat mesra. Dia menatap mata saya dengan penuh kelembutan, saya juga menatapnya dengan penuh rasa jijik. Hingga akhirnya, cilok saya selesai dibungkus dan saya meninggalkan PKL itu dengan penuh rasa jijik dan kotor. Tetapi, Dia tidak memperbolehkan saya pergi. Saya takut, jangan-jangan waria ini sudah jatuh cinta dengan saya. Tak lama berselang, Dia berkata kepada saya, “Maaf, sampeyan belum bayar Mas.”

  Selain kondisi taman yang memprihatinkan, Kota Malang juga masih sangat kurang kualitasnya di bidang sarana umum. Salah satunya, jembatan penyebrangan yang kotor dan bau pesing seperti toilet umum. Saya pernah merasakan pesingnya jembatan penyebrangan. Meski begitu, saya juga pernah kencing di jembatan penyebrangan. Saya merasa bangga bisa kencing di jembatan penyebrangan karena kencing saya bisa meluncur dengan indah seperti air terjun. Ketika itu, saya dimarahi oleh salah satu pejalan kaki karena air seni saya dengan tidak sengaja mengenai seorang pejalan kaki yang sedang menyebrang di bawah jembatan. 

  Semoga Kota Malang bisa segera berbenah. Karena, jika tidak segera memperbaiki diri, Kota Malang harus berganti nama menjadi “Kota Yang Malang”



0 comments:

Post a Comment