Sunday 18 January 2015

  Kalau. Kata itu Selalu menghantui saya. Di manapun saya berada, kata “Kalau” selalu mengikuti. Entah itu di dalam angkot, di kamar mandi, bahkan di angkot yang ada kamar mandinya. Selalu saja kata “Kalau” menghantui diri saya. “Kalau saya meninggal, apakah saya akan masuk surga?” “Kalau saya berhutang ke warungnya Cak No, apakah saya bisa melunasi hutang saya?” “Kalau istrinya Cak No melahirkan, apakah Cak No akan menagih hutang saya?” “Kalau Cak No meninggal, apakah anaknya akan menagih hutang saya?” “Kalau anaknya Cak No meninggal, apakah anaknya anaknya Cak No akan menagih hutang saya?” “Kalau saya meninggal, apakah saya tetap membawa hutang yang belum saya bayar ke Cak No?” “Apakah Cak No akan menagih hutang saya ketika saya sudah berada di akhirat?” Dan pada akhirnya, saya tidak jadi berhutang ke warungnya Cak No. Saya takut Cak No akan menagih hutang saya di akhirat nanti.

  Kata “kalau” yang masih sering menghantui saya adalah: “Kalau saya ganteng, apa yang akan terjadi?” Dan, ribuan bahkan jutaan jawaban pasti akan muncul. Mungkin, beberapa jawaban yang muncul bisa jadi seperti ini: “Kalau saya ganteng, saya bisa jadi terkenal.” “Kalau saya ganteng, saya bisa jadi seorang cover boy.” “Kalau saya ganteng, saya tidak akan menjomblo selama enam belas tahun seperti sekarang.” “Kalau saya ganteng, saya pasti akan menggantikan Ariel sebagai bintang iklan produk pembersih wajah” “Kalau saya ganteng, saya pasti akan bermain dalam salah satu sinetron paling menjijikkan di dunia, Ganteng-Ganteng Serigala.” “Kalau saya ganteng, saya akan dikerubuti cewek-cewek seperti tukang ojek berebut pelanggan cantik.” “Kalau saya ganteng, saya bisa jadi seorang pemain film terkenal, dan setiap hari rumah saya bakal diintai oleh paparazzi.” “Kalau saya ganteng, pasti banyak cabe-cabean yang kesengsem dengan wajah saya.” “Kalau saya ganteng, pasti saya tidak pernah dilahirkan di muka bumi. Karena memang kodrat saya menjadi seorang yang tidak ganteng.”

  Kata “kalau” yang juga pernah keluar di pikiran saya adalah: “Kalau saya jadi anaknya Ahmad Dhani.” Dan jawaban yang keluar akan seperti ini: “Kalau saya jadi anaknya Ahmad Dhani, Ahmad Dhani pasti langsung menelantarkan saya, atau bahkan membuang saya ke selokan. Karena, Ahmad Dhani pasti tidak ingin punya anak seperti saya.” Alasannya: “Masak bapaknya punya wajah ganteng, tapi anaknya wajahnya semrawut begini.” Ada pula jawaban lain: “Kalau saya jadi anaknya Ahmad Dhani, saya pasti sudah membunuh tujuh orang di jalan tol.” “Kalau saya jadi anaknya Ahmad Dhani, saya pasti bisa bermain film dengan Tatjana Saphira yang cantik itu.” “Kalau saya jadi anaknya Ahmad Dhani, apalagi anak pertama, pasti wajah saya ganteng tapi kelihatan bego.” “Kalau saya jadi anaknya Ahmad Dhani yang nomor satu, pacar saya pasti seorang penyanyi cantik tapi juga bego. Namanya, Ariel Tatum.”

  Sebenarnya masih banyak kata “kalau” dalam pikiran saya. Tetapi, kalau ditulis semua, akan jadi berlembar-lembar. Bahkan, bisa lebih tebal dari kamus Indonesia-Inggris Inggris-Indonesia yang disusun oleh John M. Echols dan Hassan Shadly. Tapi, saya akan menambahkan sedikit saja kalimat “kalau” di paragraf terakhir ini. Antara lain: “Kalau saya berasal dan berdomisili di AS, keluarga saya orang AS kulit putih, kulit saya putih, tinggi, ganteng, saya pasti bisa jadi pacarnya Nadine Kaiser, anaknya menteri Susi yang cantik itu.” “Kalau saya jadi menantunya menteri Susi, saya bisa memiliki kesempatan untuk meneruskan usaha perikanan dan penerbangannya, lalu saya bisa jadi kaya raya dari kedua usaha tersebut. Dan, setelah jadi kaya, saya bisa menikah lagi.” Sampai di sini saja saya berandai-andai. Karena saya sebenarnya tidak mau jadi menantunya menteri Susi. Saya tidak ingin anak saya nanti memiliki seorang nenek perokok yang punya tattoo di kaki dan kehidupan rumah tangganya berantakan.

ini Nadine Kaiser

  Dan, saya akan memberikan kalimat “kalau” terakhir dalam tulisan ini: “Kalau tulisan ini selesai dibuat, apakah ada orang yang mau membacanya?”


0 comments:

Post a Comment